Blogger Backgrounds

Rabu, 21 Desember 2011

Teori Akuntansi dan Metodologinya


Pendahuluan.
Definisi "teori" yang paling tepat untuk bidang akutansi adalah : "seperangkat azaz hipotetis, konseptual dan pragmatis yang terjalin satu sama lain, yang membentuk suatu kerangka acuan untuk suatu bidang pengetahuan". 1) Dengan demikian teori akutansi dapat diartikan sebagai suatu penalaran logis dalam bentuk seperangkat azas atau prinsip yang (1) merupakan kerangka acuan umum untuk menilai praktek – praktek akutansi dan (2) pedoman bagi pengembangan praktek – praktek dn produser yang baru. Teori akutansi dapat dipergunakan untuk menjelaskan praktek – praktek yang sekarang berjalan, akan tetapi tujuan yang terutama dari teori akutansi adalah mengadakan suatu kerangka acuan untuk menilai dan mengembangkan praktek – praktek akutansi yang sehat.
Suatu teori umum yang tunggal untuk akutansi mungkin dapat merupakan suatu tujuan jangka panjang. Akan tetapi karena akutansi sebagai suatu ilmu yang berdasarkan logika dan penelitian empiris masih sangat muda, maka paling banyak yang dapat dicapai pada tingkat ini adalah mengembangkan beberapa teori dan sub teori yang saling melengkapi atau yang saling bersaingan. Per definisi, setiap teori terdiri dari seperangkat pernyataan yang dihubungkan oleh aturan logika atau penalaran deduktif. Pernyataan ini harus meliputi hipotesa yang bisa diuji (atau premise) dan suatu kesimpulan, meskipun satu atau lebih premisedapat didasarkan atas value judgement yang eksplisit. Penguji utama mengenai benar tidaknya suatu teori adalah kemampuannya untuk menjelaskan atau meramalkan. Penjelasan secara abstrak saja biasanya tidak cukup. Penjelasan ini dapat dipergunakan untuk peristiwa di masa yang lalu atau yang masa kini, dan penelitian mengenai ramalan/penjelasan tersebut akan membuktikan apakah teori tersebut mampu meramalkan peristiwa atau keadaan dimasa mendatang.
Dengan adanya informasi baru atau teori baru yang memungkinkan peramalan yang lebih baik, maka teori yang ada harus dimodifikasi atau ditinggalkan. Pendapat umum mengenai "apa yang naik pasti akan turun" ternyata harus dimodifikasi setelah diketahui bahwa benda yang ditembakkan keangkasa tidak kembali kebumi, meskipun teori gaya tarik bumi yang telah diperbaiki, sejak lama telah meramalkan peristiwa semacam ini. Jadi prediktibilitas atau kemampuan untuk meramalkan merupakan sesuatu yang relatif, yang diperbaiki secara bertahap dengan dikembangkannya teori yang lebih baik atau metode yang lebuh baik untuk menerapkan teori tersebut.
Ada suatu hal yang perlu diperhatikan mengenai prediktibilitas dalam bidang ekonomi dan akutansi. Suatu teori yang dapat meramalkan bangkrutnya perusahaan – perusahaan bisa sungguh – sungguh menimbulkan kebangkrutan apabila orang percaya akan ramalan tersebut. Misalnya para kreditur dan investor yang tidak bersedia memberikan dana atau bahkan menarik kembali dana mereka dari perusahaan yang diramalkan akan bangkrut, bisa sungguh – sungguh mengakibatkan kebangkrutan perusahaan tersebut.
 Sifat Teori. 2)
          Dari diatas jelaslah bahwa "teori" pertama – tama harus merupakan seperangkat kalimat. Teori diungkapkan dalam suatu bahasa, dan karenanya pengkajian bahasa merupakan sesuatu yang penting dalam pengkajian teori. Bahkan kebanyakan filsafat ilmu pengetahuan tidak lain suatu pengkajian bahasa, sekalipun bahasa yang dikaji ini merupakan bahasa yang khas bagi peneliti. Berkenaan dengan pengkajian bahasa ini, Morris,3) Carnap4) dan penulis – penulis lain membagi tiga wilayah pengkajian bahasa, yakni : sintaktik (syntactics), semantik (semantics) dan pragmatig (pragmatics).
Syntactics adalah pengkajian mengenai hubungan antara suatu symbol (sign) dengan simbol lainnya. Contoh dari pengkajian sintaktik ini dapat diketemukan didalam matematika. Didalam pengkajian sintaktik, pernyataan – pernyataan yang dibuat tidaklah mempunyai kadar empiris karena pernyataan yang dibuat tidak berhubungan sama sekali dengan kenyataan yang nyata (the real world). Olrh karena itu pernyataan sintaktik bersifat logis (logically true) dan bukannya benar dalam arti empiris (empirically true). Contoh : "apabila semua elektron mempunyai magnetic moments dan partikel x tidak mempunyai magnetic moment, maka partikel x bukanlah merupakan elektron". Ini adalah contoh pernyataan analitis. Kita tidak perlu mengerti apa yang dimaksudkan dengan "elektron" atau "magnetic moment" untuk mengatakan bahwa pernyataan tadi benar. Pernyataan tadi benar (dalam arti logis) karena bentuk kalimat dan kesepakatan kita mengenai susunan yang logis dalam bentuk rumusan "karena demikian, maka". Rumusan ini dapat dijelaskan dengan contoh yang berikut :
Pernyataan pertama : semua orang akan mati
Pernyataan kedua : Gita adalah orang
Maka : Gita akan mati
Rumusan "karena demikian, maka" diatas dapat diterapkan dalam kalimat yang nonsens tanpa mengubah kebenaran logikanya. Contoh : "apabila semua LND mempunyai tmt dan x tidak mempunyai tmt, maka x bukanlah LND". Didalam aljabar kita mengetahui bahwa "(a + b)2 = a2 +2ab +b2. persamaan ini adalah benar sesuai dengan aturan – aturan aljabar mengenai bagaimana simbol – simbol aljabar diatur dan di proses.
Perhatikan juga kebenaran kalimat yang berikut : "seorang bujangan adalah laki – laki dewasa yang belum menikah". Kebenaran kalimat ini didasarkan atas pengertian mengenai "bujangan", "laki – laki dewasa", "belum menikah" dan lain – lain. Dari contoh – contoh diatas jelaslah bahwa pernyataan – pernyataan analitis memerlukan kesepakatan – kesepakatan mengenai aturan – aturan atau definisi – definisi. Misalnya "limabelas adalah separuh dari tigapuluh" adalah benar karena kesepakatan kita mengenai arti dari simbol 15, 1/2 dan 30, dan arti atau aturan mengenai proses perkalian dalam ilmu aljabar.
Semantics adalah pengkajian mengenai hubungan antara simbol dan objek atau peristiwa. Objek atau peristiwa merupakan hal – hal yang nyata. Agar supaya simbol – simbol mempunyai kaitan dengan hal – hal yang nyata (the real world), maka perlu ada aturan – aturan atau pengertian – pengertian mengenai hubungan antara simbol – simbol dengan objek atau peristiwa. Aturan – aturan ini disebut aturan semantikal (semantical rules). Aturan – aturan inilah yang memberikan pengertian empiris mengenai simbol – simbol.
Untuk menjelaskan pengertian semantic, lihat pernyataan yang berikut :"Lukman seorang bujangan". Perhatikan perbedaan kalimat ini dengan pernyataan analitis dalam kalimat "seorang bujangan adalah laki – laki dewasa yang belum menikah". Didalam kalimat pertama "Lukman" merupakan simbol atau wakil dari suatu objek yang nyata. Kalimat ini dapat diketahui benar tidaknya secara empiris. Misalnya saudara Lukman Abdullah yang tinggal dijalan Cempaka Putih (jadi suatu objek yang memang ada dalam the real world) adalah seorang bujangan, sedangkan saudara Lukman Nur yang tinggal di kampung Bali (juga suatu objek dalam the real world) sudah menikah. Jelaslah bahwa secara empiris dapat dibuktikan bahwa Lukman yang satu memang bujangan, sedangkan Lukman yang lain bukan bujangan.

Juga jelas bahwa kebenaran dalam pernyataan analitis dan kebenaran dalam pernyataan empiris dibuktikan dengan prosedur yang berbeda. Pernyataan analitis dibuktikan dengan menggunakan aturan sintaktikal. Pernyataan analitis ini dapat dibuktikan sebagai benar (valid) atau bertentangan; atau dengan lain perkataan, pernyataan analitis dapat dibuktikan internally consistent atau tidak. Dilain fihak, pernyataan empiris dikaji kebenarannya melalui pengamatan. Hasil pengkajian ini akan menunjukkan apakah pernyataan empiris tersebut benar (dalam artian cocok dengan kenyataannya) atau tidak.
Pragmatics merupakan pengkajian mengenai hubungan antara simbol dengan pemakai simbol. Simbol – simbol yang berbeda merangsang tanggapan – tanggapan yang berbeda dari pemakai tertentu sekalipun simbol – simbol itu mempunyai makna yang sama. Pemakai – pemakai yang berbeda juga mungkin menafsirkan simbol yang sama dalam pengertian yang berbeda – beda.
Tingkat – Tingkat Akutansi.
          Dengan menggunakan tiga bidang pengkajian bahasa diatas, Eldon Hendriksen 5) membagi teori akutansi dalam tiga tingkat sebagai berikut :
1. Teori – teori yang mencoba menjelaskan praktek – praktek akutansi masa kini dan meramalkan bagaimana tanggapan para akuntan terhadap situasi – situasi tertentu atau bagaimana mereka akan melaporkan peristiwa – peristiwa tertentu. Teori – teori ini disebut teori sintaktikal atau syntactical theories.
2. Teori – teori yang memusatkan perhatian kepada hubungan antara fenomena (objek atau peristiwa) dengan simbol yang mewakili fenomena tersebut. Teori - teori ini disebut teori semantikal atau interpretasional (semantical theories atau interpretational theories).
3. Teori – teori yang menekankan perilaku atau akibat – akibat yang ditimbulkan oleh laporan keuangan terhadap keputusan yang diambil para pemakai laporan. Teori – teori ini disebut teori perilaku atau teori pragmatis (behavioral theories atau pragmatic theories).
Ketiga teori akutansi tersebut akan diuraikan lebih mendalam dengan menunjuk kepada literatur – literatur akutansi untuk masing – masing tingkat.
Teori sintaktikal yang dianggap klasik adalah karya – karya Yuji Ijiri6) dan Streling7). Karya – karya lain dalam kelompok teori sintaktikat di tulis oleh Grady8); Goldbreg9); Sanders, Hatfield, dan Moore10); dan Paton serta Littleton11). Ketiga karya yang disebut terakhir lebih bersifat perspektif daripada deskriptif pada waktu karya – karya tersebut diterbikan. Karya Grady sebagaimana halnya dengan karya Sanders, Hatfield dan Moore, menggambarkan praktek – praktek akutansi yang dianggap diterima secara umum (generally accepted). Karya Grady akan disinggunng lagi dalam bab 3 karena pengaruhnya yang besar terhadap Prinsip Akkutansi Indonesia.
Teori – teori yang menjelaskan praktek –praktek akutansi yang tradisional memang diperlukan untuk : (1) mendapatkan gambaran yang lebih tajam mengenai praktek masa kini, (2) memungkinkan penilaian yang lebuh tepat mengenai teori yang tradisional, dan (3) memungkinkan penilaian terhadap praktek masa kini yang tidak sesuai dengan teori tradisional. Teori – teori sintaktikal yang berkenaan dengan struktur akutansi dapat diuji internal
logical consistency-nya atau dapat diuji apakah teori tersebut mapu atau tidak mampu meramalkan apa yang diperbuat akuntan. Pengujian mengenai apakah teori mampu atau tidak mapu meramalkan apa yang diperbuat akuntan dilakukan oleh Sterlling, Tallefson, dan Flaherty12). Pengkajian mereka menunjukkan bahwa sekalipun teori akutansi yang konvensional tidak lengkap, namun variabel – variabel yang relevan dapat diidentifikasikan.
Pengujian atas internal logical consistency misalnya dapat dilakukan untuk pernyataan berikut : "Dalam keadaan dimana harga – harga naik, metode LIFO akan meghasilkan laba yang lebih rendah daripada metode FIFO". logika atas pernyataan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : karena harga pembelian naik, maka persediaan akhir yang dilaporkan dengan LIFO akan lebih rendah Daripada IFO. Harga pokok dihitung dengan mengurangkan persediaan akhir dari harga pembelian barang yang tersedia untuk dijual.dengan demikian harga pokok bedasarkan LIFO akan lebih dari harga pokok berdasarkan FIFO.karena harga pokok barang yang dijual merupakan unsur biaya yang dipotong dari harga jual, maka unsur biaya ini lebih tinggi dalam LIFO, sehingga laba LIFO akan lebih rendah dari laba FIFO.
Pehatikan dalam pembuktian internal consistency dari pernyataan di atas, kita sama sekali tidak membuktikan apakah LIFO atau FIFO yang menghasilkan laba yang benar dalam arti sebenarnya (the real world) atau semantik. Pembuktian ini juga tidak mengatakan apa – apa tentang akibat dari pelaporan laba yang rendah bagi pemakainya (pengertian perilaku atau pragmatis), kecuali tentang kemungkinan pengaruh terhadap pajak penghasilan.
Struktur akutansi, sekalipun dirumuskan secara logis, tidaklah memberikan pengertian atau interpretasi yang berarti apabila simbol – simbol atau istilah – istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan atau mewakili penjelasan – penjelasan atau pengukuran – pengukuran, tidak dapat menghubungkan secara empiris fenomena yang nyata (real world phenomena). Tanpa hubungan antara simbol dengan fenomena yang nyata, struktur akutansi tidak mempunyai makna empiris. Perhatikan apakah interpretasi mengenai gagasan – gagasan atau konsep – konsep yang dipergunakan para akuntan sama dengan interpretasi pemakai laporan (teori semantikal) ini penting.

Para akuntan, dengan meminjam berbagai gagasan dari ilmu ekonomi, telah berusaha menjembatani pengukuran – pengukuran akutansi dengan fenomena – fenomena yang nyata. Contoh dari usaha ini dapat ditemukan dalam karya – karya Canning13), Sprouse dan Moonitz14), serta Edwards dan Bell15).
Sprouse dan Moonitz menyarankan bahwa interpretasi yang terbaik mengenai penilaian aktiva adalah bahwa aktiva mengandung nilai jasa – jasa dimasa yang akan datang (value of future service). Berbagai prosedur yang dipakai untuk mengukur aktiva, selanjutnya dinilai berdasarkan kemampuan prosedur – prosedur tersebut mengukur nilai jasa – jasa dimasa yang akan datang. Edwards dan Bell memberikan interpretasi ekonomi terhadap konsep nilai (value) dan laba; mereka kemudian menyarankan bagaimana nilai dan laba dapat diukur secara praktis. Selanjutnya, setelah pengkajian oleh Canning, Sprouse dan Moonitz, serta Edwards dan Bell, bebarapa pengkajian empiris dilakukan untuk menunjukkan hubungan antara interpretasi ekonomis dengan pengukuran – pengukuran yang diperoleh dari data yang sebenarnya16).
Sebagaimana yang akan kita lihat dalam bab – bab selanjutnya, pada umumnya konsep – konsep akutansi tidak mempunyai makna apa – apa selain daripada hasil penerapan prosedur – prosedur akutansi yang telah disepakati.
Perkembangan teori akuntansi pada tingkat ketiga menekankan orientasi komunikasi dan pengambilan keputusan. Pusat perhatiannya adalah pada relevansi dari informasi yang dikomunikasikan kepada pembuat keputusan dan perilaku dari pribadi – pribadi atau kelompok – kelompok pribadi sebagai akibat daripada disajikannya informasi akuntansi. Pemakai – pemakai laporan akuntansi yang penting diluar perusahaan yang bersangkutan adalah pemegang saham atau investor, kreditur, dan badan – badan pemerintah. Meskipun demikian, teori – teori perilaku juga dapat mempertimbangkan akibat daripada laporan ekstern terhadap keputusan – keputusan yang diambil menejemen dari akibat umpan balik atas tindakan para akuntan dan auditor. Jadi, teori – teori perilaku mencoba mengukur dan menilai akibat – akibat ekonomis, psikologis dan sosiologis dari berbagai prosedur akuntansi dan media pelaporan.
Pengembangan teori perilaku masih dalam tahap awal. Meskipun demikian, pengembangan teori perilaku ini memberikan harapan bagi pengembangan teori yang akan mengarahkan akuntansi kepada tujuan – tujuan yang berguna. Pendekatan ini telah mendorong para penelliti akademis maupun akuntan – akuntan praktek untuk mengkaji tujuan – tujuan dasar daripada akuntansi dan untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan yangn berikut : siapa pemakai laporan keuangan yang di terbitkan? Apakah kebutuhan yang khas dari kelompok tertentu yang memakai laporan keuangan? Apakah dapat ditentukan kebutuhan yang sama dari pelbagai pemakai laporan keuangan, yang dapat diisi oleh lapporan keuangan umum, ataukah diperlukan laporan – laporan khusus untuk pemakai – pemakai tertentu ? Bagaimana investror, kreditur dan menejer bereaksi terhadap peosedur dan penyajian akuntansi yang bermacam – macam ?
Penelitian mengenai perilaku terhadap prosedur – prosedur akuntansi keuangan sangat banyak akhir – akhir ini. Williams dan Griffin17) mencantumkan sesuatu lampiran mengenai proyek – proyek penelitian dalam karya mereka ditahun 1969. Joel Demski menyajikan model dan penilaian terhadap konsekwensi – konsekwensi pengalokasian sumber – sumber dari pelbagai kemungkinan pelaporan data keuangan dalam perekonomian.18) pengkajian – pengkajian lain lebih memusatkan perhatian antara data akuntansi dengan harga surat – surat berharga dipasar model, meskipun dalam banyak pengkajian hubungan antara data akuntansi dan manfaat bagi masyarakatlah yang dijadikan pusat perhatian19). Dilain fihak, Hofstedt mencoba memperoleh pengertian yang lebih baik mengenai pembuat keputusan yang merupakan pemakaian informasi akuntansi20). Khususnya ia mengajukan pertanyaan – pertanyaan yang berikut: (1) Apakah pembuat keputusan mengolah informasi akuntansi dengan cara yang berbeda dari informasi non akuntansi? (2) bagaimana tanggapan pembuat keputusan terhadap atribut statistic tertentu mengenai suatu informasi ?

Tujuan – Tujuan Pemakai laporan Sebagai Dasar Pengembangan Teori Akuntansi.  
Salah satu dari langkah – langkah pertama dalam mengembangkan teori akuntansi adalah penetapan mengenai tujuan – tujuan yang mempengaruhi perilaku para pemakai laporan (behavioral objectives). Jenis informasi yang dibutuhkan menejemen untuk membuat keputusan tidaklah harus sama dengan jenis informasi yang diperlukan pemegang saham atau calon pemegang saham. Didalam buku ini penekanan akan diberikan kepada kebutuhan informasi bagi pemegang saham, kreditur dan fihak – fihak ekstern lainnya, meskipun dalam hal – hal tertentu perspektif menejemen juga akan disinggung. Di samping itu, perhatian juga akan diberikan kepada kepentingan social dan ekonomi yang lebih luas.
Didalam pengembangan teori akuntansi dipergunakan pendekatan – pendekatan yang berikut mengenai bahvioral objectives :
1.     Teori penilaian investasi
2.     Pendekatan indikator prediktif
3.     Penekatan "peistiwa"
4.     Pendekatan etis
5.     Pendekatan teori komunikasi
6.     Pendekatan sosiologis
7.     Pendektan ekonomi makro
8.     Pendekatan pragmatis
9.     Pendekatan non-teoritis.

Teori Penilaian Investasi.
          Banyak penulis akuntansi keuangan mengasumsikan secara tegas (eksplisit) maupun secara tersirat (implisit) bahwa tujuan utama daripada laporan keuangan adalah menyajikan informasi kepada pemegang saham dan calon pemegang saham untuk membantu nereka membuat keputusan mengenai apakah mereka menjual, membeli, atau menahan saham – saham perusahaan. Model – model mengenai pembuatan keputusan investasi belum dikembangkan dalam teori akuntansi. Oleh karena itu model – model ini dipinjam dari khasanah ilmu pembelanjaan. Model – model ini terdiri dari : Teori nilai instrinsik, hipotesa pasar yang efisien, dan teori portefolio.
Teori nilai instrinsik. Seorang investor akan membeli atau mempertahankan suatu saham apabila ia percaya bahwa nilai instrinsik saham tersebut lebih dari harga saham tersebut di bursa saham. Nilai instrinsik-lah yang menurut pandangan investor menunjukkann nilai saham yang sesungguhnya dan nilai ini akan tercermin dalam harga pasar saham tersebut jika investor – investor lainnya juga mempunyai pandangan yang sama.
Ada dua pendekatan dasar untuk mengukur nilai instrinsik ini, yakni pendekatan nilai tunai dari arus dividen (discounted dividens approach). Miller dan Modigliani telah menunjukkan bahwa kedua pendekatan ini sbenarnya memberikan hasil yang sama.21)
Meskipun teori nilai indtrindik ini berguna dalam menjelaskan harga – harga saham, tetapi ia mempunyai peranan yang kecil dalam mengembangkan teori akuntansi. Sebenarnya tidak cukup kalau kita hanya mengetahui bahwa besarnya dividen yang diharapkan ini penting bagi pemegang saham. Model yang unggul dan telah terbukti mengenai bagaimana investor menetukan harapannya mengenai dividen yang akan datang atau bagaimana mereka harus menetukan besarnya arus dividen, belum ada. Ini bidang yang amat penting bagi penelitian akuntansi. Pendekatan "nilai tunai dari hasil usaha" lebih sedikit lagi kegunaannya karena hasil usaha atau laba merupakan hasil perhitungan berdasarkan konvensi – konvensi akuntansi yang sangat sedikit atau bahkan tidak ada interpretasi yang dapat dibuat berdasarkan hitungan – hitungan tersebut. Para investor tersebut terbiasa menggunakan ikhtisar – ikhtisar keuangan yang dibuat dewasa ini. Kita hanya sedikit sekali mengetahui bagaimana para investor ini akan bereaksi terhadap informasi akuntansi yang diproses dengan konsep – konsep dan prosedur – prosedur yang lain dari yang sekarang berlaku.
Hipotesa Pasar yang Efisien. Hipotesa ini mengatakan bahwa pasaran saham adalah efisien apabila harga saham – saham secara penuh dan cepat menggambarkan informasi yang tersedia. Ada tiga bentuk dari hipotesa ini : (1) Bentuk lemah – harga saham – saham sepenuhnya menggambarkan informasi yang tersirat dalam perjalanan harga – harga saham dimasa yang lau : (2) Bentuk yang setengah kuat – harga saham – saham sepenuhnya menggambarkan semua informasi yang tersedia bagi masyarakat luar; (3) Bentuk kuat – harga saham – saham sepenuhnya menggambarkan semua informasi, termasuk informasi yang sebenarnya hanya diketahui selompok kecil golongan masyarakat.
Pentingnya hippotesa ini, khususnya dalam bentuk yang setengah kuat, ialah karena kita dapat mengasumsikan bahwa kadar informasi dalam data akuntansi dapat dinilai atas dasar reaksi pasar terhadap informasi tersebut. meskipun demikian kita harusmengetahui bahwa : pertama. Hubungan antara kadar informasi dengan reaksi pasar tidaklah berarti bahwa prosedur akuntansi yang dipergunakan akan menghasilkan informasi yang optimal untuk pembuat keputusan investasi. Kedua. Hubungan tersebut tidak menyatakan apa – apa tentang manfaat yang dapat diharapkan oleh masyarakat. Termasuk didalamnya adalah alokasi sumber – sumber secara optimal. Ketiga. Hubungan tersebut tidak mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan untuk menyajikan informasi tersebut dibandingkan dengan sumber – sumber lain dari infomasi yang sama22). Penelitian akuntansi tentu saja dapat diperluas untuk menampung hal – hal ini.
Teori Portefolio. Teori portefolio menyatakan bahwa investor yang rasional akan memilih suatu kumpulan (poprtefolio) saham – saham yang dapat memaksimumkan hasil (expected rate of return) untuk tinngkat resiko tertentu atau meminimumkan tingkat resiko untuk suatu tingkat hasil tertentu. Portefolio saham – saham semacam itu di sebut efisien. Jadi yang peting bagi invetor adalah dampak dari sekumpulan saham dan bukan expected performance dari suatu saham tertentu. Oleh karena itu pengukuran risiko yangn relevan bukanlah total variability dari suatu saham melainkan covariability dari suatu saham terhadap saham – saham lainnya dalam portefolio tersebut. Ini berarti bahwa dua jenis saham yang masing – masing mungkin mempunyai risiko yang tinggi, tetapi kalau digabungkan dalam satu portefolio total risiko menjadi lebih kecil apabila variabilitas dari kedua jenis saham tersebut berbanding terbalik.
Teori Portefolio ini penting bagi teori akutansi karena ia menunjukkan kebutuhan akan pemisahan antara ririko yang sistematik (syismatic risk) dan risiko yang tidak systematic(nonsystematic risk).Risiko yang sestematik adalah variabilitas hasil saham saham berkenaan dengan pergerakan harga harga saham secara umum.Karena risiko yang tidak sistematik dapat dihilangkan melaliu diversifikasi maka risiko yang sistematik ini sajalah yang relevan dalam pemilihan portofolio.Oleh karena itu teori akutansi yang semata mata memusatkan perhatian pada satu jenis saham tanpa memperhatikan keadaan suatu portofolio,bisa merupakan teori keliri.Ini tentunya tidak berarti bahwa pengukuran risiko yang tidak sistematik tidak penting bagi beberapa investor yang memilih untuk tidak melakukan atau tidak dapat melakukan diversifikasi , sekalipun pasar saham tidak akan memberikan imbalan kepada investor yang ingin menanggung risiko yang tidak sistematik itu.

Pendekatan Indikator Prediktif
Satu gagasan yang dapat ditarik dari model penilaian investasi ialah kemampuan untuk meramalkan. Kalau data akutansi diharapkan menjadi relevan untuk pembuatan keputusan oleh investor , maka data tersebut haruslah dapat memberikan masukan dalam model model pengambilan keputusan oleh investor.Untuk model model keputusan semacam ini hanyalah harapan dan taksiran mengenai masa yang akan datanglah yang relevan , maka data akutansi hanyalah relevan apabila data ini memungkinkan peramalan atas objek atau juga peristiwa dikemudian hari.Penekanan atas kemungkinan melakukan peramalan ini masih menimbulkan pertanyaan pertanyaan yang berikut :
1.     Objek atau peristiwa apa saja yang harus dimasukkan dalam model keputusan para investor ?
2.     Hubungan apa yang harus dianggap atau dicari antara data akutansi dan masukan dalam model keputusan ?
3.     Data akutansi alternative atau prosedur akutansi alternative yang mana yang terbaik yang dapat memenuhi syarat kemampuan untuk meramalkan.
Sebelum pengujian mengenai kemamouan meramalkan deapat diterapkan , harus ada pengetahuan mengenai apa model model keputusan yang ada atau model model keputusan apa y6ang seharusnya dipergunakan oleh investor.Pengetahuan mengenai hal yang pertama dapat dikaji melalui teori teori deskriptif mengenai reaksi investor dan pasar / bursa saham terhadap data akutansi.Kesulitan utama dalam menggunakan model deskriptif ini adalah karena investor dibatasi oleh informasi yang tersedia baginya.Oleh karena itu sangatlah sulit untuk meneliti apa dampak dari data atau prosedur akutansi alternative,yakni data dan prosedur akutansi lainnya yang justru yang ternyata tidak tersedia bagi investor tersebut.Pendekatan normative memiliki keuntungan karena pendekatan ini memungkinkan kita memilih data dan prosedur akutansi yang sebelumnya tak dilaporkan.Akan tetapi teori yang normative selalu sulit dinilai dan selalu berubah dengan diketemukannya informasi baru.Pendekatan normayif dari akutansi nilai ganti (replacement
cost accounting
) 23).
Seperti dapat dilihat dari apa yang dikemukakan oleh American Accounting Association on Corporate Financial Reporting (1969-1971),ada paling sedikit empat cara dimana data akutansi dapat dihubungkan dengan masukan untuk model model keputusan :
1.     Prediksi atau peramalan secara langsung dapat dibuat oleh akuntan atau menejemen dalam bentuk ramalan atau forecast yang dievaluasi oleh akuntan yang independent.Secara histories para akuntan enggan berhubungan dengan forecast semacam ini karena kemungkinan akibat hukum atau tuntutan yang telah timbul karena forecast yang tidak tepat.
2.     Prediksi secara tidak langsung merupakan gagasan yang paling umum diterapkan dalam mengukur kemampuan peramal dari kata akutansi.Data untuk masa yang lampau dianggap memiliki kemampuan untuk meramalkan apabila objek atau peristiwa kemudian dapat diekstrapolasi atau diproyeksikan dari data tersebut kemasa yang akan dating sekalipun perubahan dalam lingkungan dan factor ekstern dapat dipergunakan untuk mengubah bentuk ekstrapolasi.
3.     Penggunaan indicator utama (lead indicators) menekankan kemampuan data akutansi untuk meramalkan titik titik balik (turning points) dan bukannya sekedar ekstra polasi data yang lampau kemasa yang akan dating . Ini berarti bahwa akuntan harus mencari data yang harus penggerakannya mendahului pergerakan objek atau peristiwa yang akan diramalkan.Contoh : kenaikan debt-equity ratio
mungkin merupakan keadaan yang mendahului terjadinya kemunduran dalam cash flow yang tersedia bagi pembagian dividen .
1.     Informasi akutansi tertentu saja mungkin belum cukup untuk membuat suatu peramalan . Tetapi penggunaan informasi tersebut bisa menjadi relevan apabila dipergunakan bersama informasi lainnya didalam menilai prospek perusahaan . Contoh : ratio of cost goods sold to average inventory dan gross margins akan berguna untuk menilai efesiensi usaha dan karenanya dapat membantu dalam meramalkan operating cash flow dikemudian hari dan kemampuan perusahaan untuk membayar dividen dimasa yang akan dating.
Gagasan mengenai kemampuan untuk meramalkan memiliki potensi yang besar bagi pengembangan laporan data keuangan yang relevan.Akan tetapi ada beberapa kesulitan yang dihadapi saat ini.Pertama,tidak adanya model model keputusan baik yang normative maupun deskriptif yang telah dibuktikan , yang memberikan gambaran yang cukup mengenai masukan yang dipergunakan dal;am model.Kedua, kurangnya pengertian mengenai hubungan antara data akutansi dengan objek atau peristiwa yang mungkin menjadi masukan untuk model model keputusan.Tidaklah tepat misalnya untuk mengasumsikan bahwa konsep laba tertentu merupakan bahan yang relevan untuk meramalkan , sekedar karena konsep itu memungkinkan prediksi mengenai nilai nilai laba dikemudian hari.Laba Akutansi adalah sesuatu yang semu yang dihasilkan dari struktur akutansi yang formal dan hanyalah relevan untuk tujuan prediksi jika laba tersebut merupakan subtitusi untuk suatu masukan yang relevan dalam model model keputusan.Pada saat ini masih banyak kesulitan yang dihadapi untuk menguji kemampuan meramalkan karena:kompleksnya lingkungan dunia usaha,kurangnya pengertian dari hubungan antara pengukuran objek dan peristiwa dikemudian hari , dan ketidak mampuan untuk memformulasikan model keputusan (baik normatif maupun deskriptif)yang dapat dipercaya.
Pendekatan Peristiwa.
Ada tiga konflik dasar dalam pengembangan teori akutansi , yakni :
1.     Apakah ikhtisar keuangan harus ditujukan kepada pemakai pemakai tertentu ataukah untuk pemakai pemakai yang beraneka ragam tanpa kebutuhan yang diketahui dengan jelas ?
2.     Berapa terperinci informasi akuntansi tertentu yang disajikan ?
3.     Jenis jenis informasi apa yantg harus dipilih untuk disajikan.Meskipun ketiga pertanyaan ini saling berkaitan , dalam hubungannya dengan teori peristiwa (event theory) pertanyaan pertanyaan tersebut akan dibahas secara terpisah
Sekalipun tidak hanya terbatas kepada teori peristiwa , pikiran dasar dari pendekatan ini adalah bahwa pemakai laporan keuangan beraneka ragam adanya dan akuntan janganlah berikhtiar untuk mengarahkan laporan keuangan utama yang dipublikasikan kepada pemakai pemakai tertentu menurut perkiraanya sendiri.Selanjutnaya dipublikasikan bahwa model model keputusan tidak dapat diformulasikan (baik secara deskriptif maupun secara secara normative) dengan cukup teliti untuk menentukan jenis informasi akutansi yang relevan bagi masukan kedalam model model keputusan ini.Akan tetapi , Sorter berpendapat bahwa sekalipun lebih banyak yang dapat diketahui mengenai model model keputusan dari pemakai laporan , kemungkinannya adalah bahwa model model tersebut lebih konsisten dengan pendekatan peristiwa (event approach) daripada pendekatan nilai (value approach).Dengan denikian menurut Sorter kita tidak perlu mengetahui banyak tentang model model keputusan untuk menentukan data akuntansi apa yang relevan bagi investor . Investor misalnya dapat memekai data akuntansi untuk meramalkan peristiwa tertentu (sepeti penjualan untuk jenis jenis produk yang dijual)dan kemudian memakai ramalannya sendiri mengenai peristiwa ini untuk memformulasikan masukan yang lebih khusus lagi kedalam model keputusan.
Apabila suatu akutansi diharapkan akan relevan untuk model keputusan yang beraneka ragam dan apabila tujuannya adalah untuk meyakinkan informasi yang beraneka ragam yang dianggap relevan untuk prediksi prediksi yang khusus , maka harus ada perluasan dari data akutansi dalam laporan keuangan.Ini berarti bahwa diperlukan lebih banysk detsil dsn lebih sedikit penggabungan (aggregation)data.Sekalipun beberapa model keputusan yang normative juga memerlukan data yang dipilah pilah (disaggregated data) , pendekatan peristiwa memerlukan lebih banyak detail karena ia menganggap bahwa pemakai harus memungkinkan memilih informasi yang dikehendakinay dari suatu daftar yang luas dan juga ia harus dimungkinkan untuk memutuskan bagaimana penggabungan dari detail detail ini dilakukan.Pemakaian biasanya dapat menggabungkan data akuntansi yang tersedia dengan detai detail yang cukup dari pada memilah milah data yang tidak diketahui detailnya.
Suatu peristiwa merupakan suatu kejadian , fenomena ,ataupun transaksi yang dianggap dapat diamati dan lebih memiliki interprestasi semantic daripada pengukuran nilai assets dan liabilitries.Akan tetapi hanya ada beberapa cirri dari peristiwa yang dapat dukur dan dilaporkan ; dalam pendekatan peristiwa harga harga jual dan beli dianggap dapat diamati (observable) , dapat diperiksa (verifiable) dan relevan.Akibatnya neraca dipandang sebagai penggabungan peristiwa yang telah terjadi dimasa yang lampau.Pentingnya ikhtisar rugi laba adalah dalam menyajikan kegiatan perusahaan , sedangkan angka akhir berupa laba tidaklah ia memusatkan perhatiannya pada kegiatan perusahaan dan bukan kepada perubahan modal kerja
Kekurangan kekurangan daripada pendekatan adalah
1.     Kriteria untuk memilih informasi apa yang harus disajikan ssangat samara samara dan karenanya tidak sepenuhnya menjurus kepada pengembangan teori akuntansi
2.     Perluasan data bisa mengakibatkan pemakai kewalahan dengan informasi yang berlimpah limpah . Bukti bukti dari pengkajian perilaku menunjukkan bahwa ada sesuatu batas mengenai jumlah informasi yang dapat ditangani seseorang pada suatu waktu secara efisien.
3.     Sebenarnya sedikit sekali bukti bukti bahwa : a).Pengukuran peristiwa lebih verifiable daripada pengukuran objek atau b). Bahwa penyajian cirri cirri peristiwa akan otomatis menagarh pada prediksi yang lebih baik dari pada penyajian peristiwa dan objek tertentu yang dipilih.

Pendekatan etis
          Perlu diingat bahwa beberapa pendekatan terhadap tepri akuntansi tidaklah musti berdiri sendiri sendiri.Hal ini dapat dilihat dalam pendekatan etis,karena dengan mencamtumkannya sebagai sesuatu pendekatan tersendiri tidak berarti bahwa bahwa dalam pendekatan lainnya tidak mengandung segi segi etika.Pattillo misalnya menekankan bahwa dalam pendekatannya "dasar utama yang dipergunakan harus bersifat etis , metodenya harus logis , dan pengujian formulasinya terletak pada penerapannya terhadap the real world"

Pendekatan etis dalam teori akuntansi memberikan penekanan terhadap konsep keadilan,kebenaran,dan kelayakan.D.R.Scott berpendapat bahwa penentuan praktek akuntansi sebenarnya mengikuti pola yang terdapat dalam azas azas organisasi social.Pandangan pandangan nya adalah :
1.     Prosedur akuntansi harus memberikan perlakuan yang sama pada semua pihak ,
2.     Laporan keuangan harus menyajikan pernyataan yang benar dan akurat ,
3.     Data akuntansi harus layak ,tidak bias, dan tidak memihak kepentingan kepentingan tertentu.
Disamping dari ketiga gagasan di atas Scott menambahkan persyaratan bahwa prinsip akuntransi harus terus menerus direvisi untuk mengikuti perubahan keadaan dan prinsip prinsip tersebut harus diterapkan secara konsisten apabila mungkin.
Kelayakan , keadilan , dan tidak memihak sebenarnya merupakan pandangan bahwa laporan akuntansi tidak terjangkit oleh pengaruh atau bias yang tidak semustinya. Laporan – laporan akuntansi tidak boleh dibuat untuk memenuhi kepentingan seseorang atau suatu kelompok atas kerugian orang orang atau kelompok yang lain. Kepentingan semua fihak harus mendapatkan perhatian menurut proporsinya, khususnya untuk menghindari fihak – fihak yang memegang kuasa untuk menentukan prosedur akuntansi yang dipergunakan. Keadilan biasanya diartikan sebagai ketaatan terhadap suatu standard yang diterapkan baik secara formal maupun informal sebagaia pedoman untuk perlakuan yang sama.

Kebenaran dalam konteks akuntansi barang kali merupakan pengertian – pengertian yang paling sulit didefinisikan dan diterapkan. Kebanyakan pendapat mengeni istilah kebenaran mengartikannya sebagai "persesuaian dengan keadaan nyatannnya/fakta." Akan tetapi tidak semua orang sependapat dengan apa yang dimaksud dengan "fakta". Berapa orang menganggap fakta akuntansi sebagai data yang objektifdan dapat diperiksa (verifiable). Kepompok ini menganggap historical cost sebagai fakta akuntansi. Orang – orang lain berpendapat bahwa kebenaran dalam penilaian assets dan expenses berarti bahwa penilaian itu harus menerpkan nilai – nilai ekonomis yang current. MacNael menyatakan bahwa laporan keuangan adalah benar hanya apabila mencantumkan current value daripada assets dan bahwa profit atau loss terjadi karena perubahan current values tersebut, sekalipun kenaikan values tersebut harus dijelaskan apakah sudah atau belum direalisasi.29)
Kebenaran juga sering diartikan sebagai persesuaian dengan prinsip – prinsip yang telah diterima. Misalnya pengakuan laba pada saat penjualan dinggap benar, sedangkan melaporkan penambahan nilai aktiva karena appraisal dianggap kurang atau tidak benar. Tetapi sebenarnya ketentuan atau prosedur yang sudah diterima, bukanlah merupakan dasar yang tepat untuk mengukur kebenaran.
Konsep kelayakan sejak lama telah menjadi tujuan utama didalam penyajian laporan keuangan yang diaudit. Hal ini dapat kita liha dari bentuk laporan akunan publik yang menyatakan apakah ikhtisar keuangan telah disajikan secara layak. Mautz dan Sharaf menjelaskan bahwa pengertian layak dalam laporan akuntan mencerminkan iktikad baik untuk melaporkan keadaan perusahaan yang sebenarnya.30) Didalam membahas konsep kelayakana ini mereka juga mengajukan tiga sub kosep yakni : Kebenaran akuntansi, disclosure yang cukup, dan kewajiban audit.

AICPA Statement on Auditing Procedure No. 33 menggunakan konsep
kelayakan yang sama seperti gagasan Mautz dan Sharaf. Dengan judul "Fariness of Presentation", Statement No. 33 tersebut membahas topik – topik yang berikut : (1) Persesuain dengan prinsip – prinsip akuntansi yang umum diterima, (2) Disclosure, (3) Cosistency dan (4) Comparability.31) Jadi konsep mengenai kelayakan ini sebenarnya sama dengan konsep kebenaran (dalam arti yang kedua) seperti yang dibahas diatas. Mautz dan Sharaf menganggap bahwa ketaatan terhadap prinsip – prinsip yang diterima umum belum merupakan syarat yang cukup, karena didalam melaporkan realita perusahaan auditor mungkin harus membuat prinsip sendiri (yang belum tentu sesuai dengan prinsip yang diterima umum). Disini kita melihat lagi bahwa "realita" mempunyai makna yang sama dengan "fakta" seperti pada pembahasan mengenai konsep kebenaran di atas.
Konsep kelayakan yang berbeda tersirat dalam komentar yang diberikan oleh Leonard Spacek atas AICPA
Accounting Research Study No. 3. disana ia menyatakan :
… Pembahasan mengenai assets, liabilities, revenue dan costs sebenarnya premature dan tidak mempunyai arti kecuali jika prinsip – prinsip dasar yang akan menghasilkan fair presentation dari pada fakta – fakta telah ditentukan lebuh dahulu. Kelayakan dalam akuntansi dan pelaporan haruslah untuk dan kepada orang – orang yang mewakili pelbagai segmen dalam masyarakat kedua – duanya.
Kelayakan disini berarti tidak memihak dan adil kepada perorangan maupun kelompok yang mempunyai kepentingan. Kelayakan disini juga berarti penyajian yang layak dari fakta – fakta. Penekanannya adalah kepada kelayakan pada pembaca laporan dan bukan kelayakan mengenai data yang disajikan.laporan yang disajikan dengan cara layak tentunya bisa juga tidak memihak, tetapi Spacek mensyaratkan kedua – duanya.
Companies Act of 1967 di Inggeris mensyaratkan bahwa auditor mencantumkan dalam laporannya apakah ikhitisar – ikhtisar keuangan menunjukkan keadaan yang benar dan layak (true and fair view). Didalam pernyataan auditor tersirat pandangan etika yang pengejawantahannya pada dianutnya prosedur – prosedur akuntansi yang tradisional dalam kebanyakan hal.33) Akan tetapi para akuntan di Inggeris mempunyai keleluasaan yang lebih besar dari rekan – rekan mereka di Amerika mengenai pilihan metode akuntansi yang dapat memberikan true and fair view.
Tidak seorang akuntanpun yang akan membantah bahwa kwbwnaran dan kelayakan merupakan tujuan yang baik dalam penyajian ikhtisar keuangan. Akan tetapi Karena unsur subjektifitas ini, ada kecenderungan untuk bergantung kepada prosedur dan kaidah tradisional untuk memberikan ukuran objektif mengenai kebenaran. Kecuali jika prosedur dan kaidah ini logis, ikhtisar – ikhtisar keuangan yang dihasilkan bisa merupakan keabnormalan yang besar. Dalam usaha untuk menyajikan fakta dan realita akuntan dapat dikiaskan sebagai tiga orang buta (yang dikisahkan oleh Cnoficius) yang mencoba menggambarkan gajah sebagai dinding, pohon atau ular tergantung pada bagian yang mereka sentuh. Pernyataannya barangkali bukanlah apakah informasi itu relevan dan logis didalam menggambarkan keadaan perusahaan.

Sumber : http://dasar-akuntansi.blogspot.com/2009/08/teori-akutansi-dan-metodologinya.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar