PENDAHULUAN.
Pembahasan ini secara singkat memandang perkembangan terjadinya krisis di Indonesia, dari tertekannya nilai tukar rupiah menjadi krisis moneter (krismon), setelah meluas dan mendalam menjadi krisis total (kristal), menyangkut hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Proses ini tedadi secara cepat, meluas dan mendalam, jauh melampaui perkiraan kebanyakan orang, termasuk para ahli, bahkan mereka yang pesimis sekalipun.
Analisis mengenai terjadinya krisis di Asia, termasuk Indonesia, banyak dilakukan sejak timbulnya gejolak yang berkembang menjadi krisis ini. Saya kira hal ini akan berlangsung cukup lama; menganalisis mengenai sebab tedadinya, pola-pola proses terjadinya, kesamaan dan perbedaan kasus yang satu dengan yang lain, mengapa demikian dan bagaimana menghindarinya di masa depan atau apa yang dapat diambil sebagai pelajaran dari krisis ini. Berbagai pakar terkenal dari berbagai universitas ataupun lembaga-lembaga penelitian di A.S., Eropa dan Asia telah, sedang dan akan melakukan studi mengenai permasalahan ini. Nama-nama ahli ekonorni terkemuka, seperti Paul Krugman, Rudi Dombusch, Martin Feldstein, Fred Bergsten, Jeffrey Sachs, Stanley Fischer dan banyak yang lain telah memenuhi media cetak dan elektronik yang menyebar luaskan pandangan atau analisis mereka mengenai permasalahan ini. Kebanyakan tulisan mereka dapat diikuti dari internet dengan mudah. Saya sendiri baru saja pulang dari perjalanan selama lebih dari satu bulan di berbagai negara, memenuhi berbagai undangan pertemuan yang membahas masalah serupa.
Saya tidak akan membahas pendapat-pendapat tersebut, kecuali secara singkat mencoba mensarikan bagaimana kita menerangkan apa yang terjadi. Kalau dilihat dari proses terjadinya, krisis tersebut didahului oleh suatu euphoria, adanya pertumbuhan yang tinggi dalam kurun waktu yang lama yang digambarkan sebagai economic miracle a.l. oleh Bank Dunia) timbul perkembangan yang menampakkan tanda-tanda adanya bubbles seperti ekspansi real estates yang kelewat besar dan pertumbuhan pasar saham yang luar biasa bersamaan dengan masuknya dana luar negeri berjangka pendek secara berlebihan). Dalam keadaan tersebut kemudian timbul gejolak yang menyebabkan suatu distress dan melalui dampak penularan yang sistemik (contagion effects) menjadi crisis. Krisis tersebut semula terjadi di sektor keuangan-perbankan, kemudian melebar menjadi krisis ekonomi yang secara sistemik melebar menjadi krisis sosial, politik dan akhimya krisis kepemimpinan nasional. Ini mungkin lebih tepat untuk digunakan menggambarkan perkembangan krisis di Indonesia, akan tetapi secara umum apa yang terjadi di negara-negara lain di Asia, terutama Thailand dan Korea Selatan, juga serupa.
Uraian saya dimulai dengan menyajikan terjadinya krisis secara kronologis. Akan tetapi, secara analitis saya berpendapat bahwa krisis ini terjadi karena timbulnya gejolak ekstern yang melalui proses dampak penularan yang sistemik melanda ekonomi nasional. Dengan struktur keuangan yang masih lemah, maka perkembangan tersebut menimbulkan krisis yang meluas, dari ekonomi-moneter ke seluruh aspek kehidupan masyarakat. Proses penularan ini terjadi karena lemahnya struktur ekonomi, tatanan sosial, hukum dan politik yang mempertajam masalah ini menjadi sistemik. Setelah itu saya akan membahas berbagai hal yang menyangkut pelajaran apa yang dapat kita tarik bagi para pelaku; para perumus kebijaksanaan, dunia usaha utamanya sektor keuangan dan masyarakat luas, termasuk dunia akademi.
Uraian, cacatan ataupun pesan ini saya kemukakan dengan harapan untuk memadukan upaya kita bersama, seluruh unsur yang mendukung gerakan reformasi total, guna keluar dari krisis ini, agar dalam waktu yang tidak terlalu lama dan korban yang tidak terlampau besar, mampu mengembalikan kehidupan ekonomi nasional tagi dengan sikap baru, hasil dari langkah-langkah pembaruan bangsa yang didambakan oleh gerakan reformasi.
DARI KRISIS MONETER KE KRISIS TOTAL
Seperti disinggung di atas, perdebatan mengenai krisis keuangan atau krisis ekonomi di Asia ini masih beriangsung. Studi dan seminar untuk memeperdebatkan mengenai berbagai aspek dari permasalahan ini nampaknya masih akan bedalan sampai beberapa waktu.
Krisis itu sendiri di dalam laporan IMF, World Economic Outlook yang baru digolongkan menjadi berbagai jenis, seperti currency crisis, banking crisis, sistemic financial crisis dan foreign debt crisis. Dari segi asal timbulnya krisis laporan ini nampaknya menggambarkan bahwa, pada dasarnya krisis merupakan akibat dari gejolak finansial atau ekonomi dalam perekonomian yang mengidap kerawanan. Kerawanan perekonomian bisa terjadi karena unsur-unsur yang pada dasarnya bersifat internal, seperti kebijaksanaan makro yang tidak sustainable, lemahnya atau hilangnya kepercayaan terhadap mata uang dan lembaga keuangan dan ketidak stabilan politik, atau yang berasal dari faktor eksternal, seperti kondisi keuangan global yang berubah, misalignment dari nilai tukar mata uang dunia (dollar dengan yen), atau perubahan cepat dari sentimen pasar yang meluas karena herd instinct dari pelaku dunia usaha.
Dewasa ini pandangan-pandangan mengenai sebab timbulnya krisis yang beraneka ragam tersebut, mungkin dapat digolongkan menjadi dua kelompok; pertama yang mengatakan bahwa sebab utamanya adalah masalah internal ekonomi nasional, terutama lemahnya lembaga keuangan (perbankan). Ini pokok dari argumentasi Paul Krugman, ahli ekonomi kenamaan dari Stanford University. Kedua, yang mengatakan bahwa krisis ini timbul dari perubahan sentimen pasar, masalah eksternal, yang diperkuat dengan contagion effects. Ini berasal dari Jeffrey Sachs, ahli ekonomi dari Harvard University.
Saya melihat bahwa apa yang terjadi di Indonesia dimulai dengan dampak dari proses penularan, dimana rupiah tertekan di pasar mata uang setelah dan bersamaan dengan apa yang terjadi di negara-negara tetangga, dimulai dengan depresiasi yang drastis dari baht Thailand. Akan tetapi kemudian dengan langkah kebijakan yang dilakukan dan implikasi dari padanya (pelebaran rentang kurs intervensi, pengambangbebasan rupiah, intervensi BI dan pengetatan likuiditas), terjadi proses yang bersifat downward spiral dari proses penularan, sehingga gejolak kurs rupiah menjalar menjadi masalah tertekannya perbankan (karena kelemahan sektor ini). Ketidakpercayaan terhadap rupiah menjalar menjadi ketidak percayaan terhadap perbankan (adanya flights to quality danflights to safety) yang menimbulkan krisis perbankan. Dalam keadaan ini bank tidak hanya ditinggalkan deposan akan tetapi juga ditinggalkan bank lain (terganggunya pasar uang antar bank yang tersekat-sekat), termasuk akhirnya bank-bank mitra usaha di luar negeri (penolakan L/C dari bank nasional oleh bank luar negeri). Krisis perbankan kemudian menjalar ke pada nasabah mereka (mahalnya atau hilangnya kredit bank), sehingga masalah sektor keuangan langsung berpengaruh negatif terhadap sektor riil (kegiatan konsumsi, produksi, perdagangan dan investasi). Dari perkembangan ini secara cepat krisis keuangan ini menjadi krisis sosial (perusahaan yang tidak memperoleh pinjaman bank mulai melakukan PHK terhadap karyawannya), dan kemudian menimbulkan krisis dalam kehidupan politik yang memuncak dengan terjadinya krisis kepemimpinan nasional yang sampai sekarang belum terselesaikan.
Mengenai perkembangan terjadinya krisis, mungkin secara kronologis dapat disebutkan secara singkat, apa yang terjadi sejak bulan Juli 1997, sebagai berikut :
- tertekannya nilai tukar rupiah setelah terjadi hal yang serupa terhadap baht Thailand yang diikuti dengan pengambangan baht tanggal 2 Juli 1997 dan peso Pilipina 11 Juli 1997.
- dilakukan pelebaran kurs intervensi rupiah dari 8% menjadi 12% pada 11 Juli 1997, setelah dilakukan pelebaran sebanyak enam kali sejak 1994.
- dilakukan penghapusan rentang kurs intervensi atau pengambangbebasan rupiah pada tanggal 14 Agustus 1998.
- dilakukan intervensi dalam pasar valas menghadapi tekanan yang timbul baik setelah pelebaran kurs intervensi maupun setelah 14 Agustus 1997. Hal ini diikuti dengan langkah-langkah yang biasa dilakukan untuk mempertahankan kurs dengan intervensi, yaitu pengetatan likuiditas melalui kebijakan moneter dan fiskal dengan berbagai bentuknya (penundaan pengeluaran anggaran, peningkatan suku bunga SBI dan pengubahan deposito milik BUMN ke dalam SBI).
- langkah -langkah kebijakan makro dan sektoral 3 September 1997, suatu "self imposed IMF program "
- keputusan untuk meminta bantuan IMF awal Oktober 1997.
- perundingan dengan IMF yang menghasilkan 'letter of intent' pertama, 31 Oktober 1997, dari precautionary menjadi standby arrangement. Program yang akan diimplementasikan meliputi kebijakan pengendalian moneter dan nilai tukar, langkah-langkah fiskal, restrukturisasi sektor keuangan dan restrukturisasi sektor riil.
- kebijakan pencabutan ijin usaha 16 bank dan implikasinya.
- pencairan pinjaman tahap pertama $3 milyar dari pinjaman IMF $10 milyar sebagai bagian dari paket $43 milyar. Intervensi pasar valas bersama Jepang dan Singapore yang berhasil, kemudian implementasi program dengan dukungan IMF yang kurang lancar (masalah tuntutan terhadap Gubernur BI dan Menkeu di PTUN, ketidakjelasan pelaksanaan penghapusan monopoli dan penundaan proyek-proyek serta pelaksanaan kebijakan moneter yang seret) dan reaksi pasar yang negatif
- proses terjadinya 'letter of intent' kedua, 15 Januari 1998, didahului dengan desakan G7.
- reaksi pasar terhadap kemungkinan pencalonan Habibie sebagai Wapres.
- pelaksanaan restrukturisasi perbankan dengan pemberian garansi terhadap semua deposito, giro, tabungan dan pinjaman perbankan serta pendirian BPPN.
- heboh CBS, usulan Steve Henke, dan implikasi yang ditimbulkan.
- keputusan BPPN membekukan 7 bank serta melaksanakan pengawasan intensif terhadap 7 bank lain.
- perundingan Pemerintah dengan IMF yang menghasilkan "Memorandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi dan Keuangan", yang ditanda tangani Menko Ekuin pada tanggal 9 April 1998.
- pencairan pinjaman tahap ke dua sebesar $1 milyar.
- penyelesaian pinjaman swasta dengan berbagai perundingan di Tokyo, New York dan Frankfurt
- Pengumuman Kabinet Reformasi dan pemberian status independen ke pada Bank Indonesia setelah pergantian Presiden dari Soeharto ke Habibie.
Mungkin berkaitan dengan apa yang terjadi serta langkah kebijaksanaan yang dilakukan dapat dikemukakan berbagai kejadian dan tindakan yang memerlukan kejelasan mengenai mengapa tejadi demikian, atau dari kebijaksanaan yang diambil mengapa suatu langkah tertentu diambil, mengapa bukan langkah yang lain. Berbagai hal dibawah mungkin menarik untuk dibahas (dikemukakan di sini bukan untuk mendukung atau menolak, tetapi untuk menarik pelajaran yang berguna di masa depan atau untuk pengembangan pendekatan. Pada berbagai kesempatan diskusi mengenai permasalahan-permasalahan ini perlu dilakukan):
- mengenai pengambangan bebas rupiah; mengingat dampak yang begitu meluas, apakah tidak sebaiknya diterapkan sistim lain? Ini menyangkut diskusi mengenai sistim pengelolaan kurs, apakah tetap atau fleksibel, diikat pada suatu mata uang atau basket. Apakah CBS bukan altematif yang dapat diterapkan?
- mengenai aliran modal; apakah pengaturan bukan merupakan altematip yang terbuka?
- mengenai restrukturisasi perbankan; apakah penutupan 16 bank memang harus dilakukan? Apakah tindakan BI melakukan penyelamatan perbankan dengan bantuan likuiditas merupakan tindakan yang tepat? Apa ada cara lain yang perlu ditempuh?
- mengenai peran IMF apakah meminta bantuan IMF merupakan langkah yang tepat atau apakah ada altematif lain? Bagaimana sikap terhadap bantuan IMF?
- mengenai pinjaman swasta; mengapa terjadi pembengkakan pinjaman perusahaan swasta? Mengapa dibiarkan terjadi? Apakah BI tidak mengetahui?
- mengenai pengelolaan moneter; apa makna dan implikasi memberikan otonorni ke pada bank sentral?
Dalam berbagai kesempatan saya akan membahas atau membuat catatan mengenai berbagai permasalahan di atas, sebagian untuk menjelaskan apa yang tejadi dan mengapa dilakukan atau tidak dilakukan suatu langkah tindakan pada waktu yang bersangkutan, sebagian merupakan jawaban ke pada berbagai kritik yang dilancarkan, yang tidak selalu tepat. Sebagian mungkin merupakan pertanggung jawaban saya sebagai penanggung jawab dari berbagai kebijakan yang diambil selama menjalani jabatan saya.
Apa yang dapat dipetik sebagai pelajaran dafi krisis yang tedadi ini? Saya ingat pada teman saya, Dr Andrew Sheng, Deputy Chief Executive, Hongkong Monetary Authority yang menyebutkan adanya dua pelajaran yang dapat ditarik. Saya sangat sependapat dengan dua palajaran tersebut, yaitu pertama, the sooner the better. Ini dalam hal menyadari dan mengidentifikasi secara akurat mengenai masalah yang dihadapi dan kemudian menanganinya secara tepat, cepat dan konsisten. (Ingat, dalam kasus Indonesia, berkali-kali dikemukakan berbagai pihak secara tepat mengenai tidak nampak adanya sense of crisis dari pemerintah maupun dari sebagian masyarakat). Karena cepatnya perkembangan dan sifatnya yang menular (contagious), maka semakin tertunda penanganannya, semakin besar pula masalahnya, demikian pula biaya atau korban yang timbul dari upaya penyelesaiannya. Saya dapat melihat hal ini secara jelas dari pengalaman menangani masalah perbankan, semakin tertunda penyelesaiannya, semakin rumit masalahnya, semakin mahal biayanya. Kedua, the problems are always worse than expected. Ini berlaku bagi otorita yang bertanggung jawab menangani maupun dunia usaha ataupun pakar yang menggampangkan masalahnya dengan mengusulkan jalan keluar yang tidak operasional.
Nampaknya baik dalam penanganan terhadap krisis ekonomi maupun masalah politik, pimpinan nasional di bawah mantan Presiden Soeharto kurang memahami pelajaran ini, artinya pada dasarnya tidak bersedia menerima pernilaian yang akurat, karena kenyataan yang tidak enak. Atau terlambat menerima kenyataan, dan masalahnya telah menjadi sangat besar, sehingga upaya penyelesaiannya tidak memadai, too little and too late, kata orang. Dan atau menganggap enteng masalahnya. Kalau masalah yang dihadapi memang kompleks dan rumit, cara menjelaskan yang disederhanakan memang menolong kita untuk menunjukkan arah penyelesaiannya. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa masalahnya kemudian berubah menjadi sederhana atau gampang, jalan keluar yang efektif juga tidak sederhana. Kita harus berani menerima bahwa masalahnya lebih besar dari yang kita harapkan atau perkirakan. Karena tidak tanggap terhadap pelajaran ini, maka konsekuensinya yang pahit harus diterima.
Menghadapi ekonomi pasar yang semakin bebas dan terbuka secara global kedua pelajaran tersebut harus diperhatikan. Bahkan perkembangan menunjukkan, bahwa kehidupan sosial politik yang semula serba bisa diatur telah mengalami perubahan yang menampakkan sifat serupa ekonomi pasar yang menuntut pimpinan nasional tanggap terhadap kedua hal di atas, atau menerima konsekuensinya kalau meremehkannya. Pimpinan sekarang akan mengalami nasib serupa, kalau tidak mau belajar dari pengalaman ini.
MELIHAT KE DEPAN.
Dalam keadaan ini melihat prospek ekonomi nasional sangat sulit dilakukan, kecuali perasaan yang mengatakan ballwa masalahnya sangat berat dan keadaan ini diperkirakan akan berjalan lama. Akan tetapi ini sangat tidak memuaskan. Seberat apapun, kita harus mempunyai perkiraan dan ekspektasi, kalau tidak berani melakukan prediksi, mengenai bagaimanakah prospek ekonomi nasional kita, jangka pendek maupun yang lebih panjang.
Memang harus diakui bahwa, dalam perkembangan yang sangat cepat ini masa depan semakin mengandung sifat tidak pasti. Ini yang menjadikan orang semakin myopic, hanya marnpu melihat keadaan yang sangat dekat dengan dirinya. Kalu disertai sikap seolah-olah tiada hari esok (aji mumpung), hal ini dapat menumbuhkan perilaku seseorang atau kelompok yang merugikan kepentingan yang lebih besar atau dalam jangka panjangnya, meskipun seolah-olah menguntungkan saat ini atau bagi yang melakukan. Dihadapkan kepada situasi seperti ini ada yang berpendapat bahwa mempelajari sejarah, mempelajari pengalaman masa lalu tidak ada manfaatnya, karena masa depan kan tidak pasti, yang pasti justru perubahan itu sendiri. Orang yang ambisinya kelewat besar, tidak sesuai dengan kemampuannya, mengatakan those who study history don't make history. Saya berpendapat bahwa mempelajari pengalaman masa lalu tetap berguna, bahkan dalam dunia yang terus mengalami perubahan. Memang untuk mempersiapkan diri guna menghadapi masa depan yang tidak menentu, belajar sejarah seolah-olah tidak ada gunanya. Akan tetapi dengan mempelajari pengalaman yang lalu kita masih memperoleh manfaat, yaitu kemampuan untuk tidak membuat kesalahan yang serupa.
Jadi bagaimana kita menghadapi krisis ini? Untuk saya, yang penting pada taraf permulaannya adalah memiliki peta yang jelas dari seluruh masalah yang dihadapi oteh bangsa ini, baik aspek ekonomi, sosial maupun politik. Kita semakin yakin bahwa aspek-aspek kehidupan ini memang terkait yang satu dengan yang lain. Tetapi setelah gambaran atau peta masalah tadi menjadi jelas, kita perlu menyadari bahwa tidak mungkin semua dilaksanakan segera dan bersamaan. Dengan lain perkataan perlu dibuat prioritas. Ini bukan pekerjaan yang mudah. Akan tetapi kalau gambarannya jelas, termasuk kaitannya yang satu dengan yang lain, menyusun prioritas untuk dijadikan program saat ini dan selanjutnya, jangka pendek, menengah dan panjang akan menjadi lebih gampang. Setelah itu program harus dilaksanakan secara berdisiplin. Ada teman yang mengatakan, we need good programs, good implementation and....... good luck. Ini harus disertai catatan, the sooner the better, the longer the costlier.
Dalam hal penentuan prioritas, saya berpendapat bahwa terlebih dahulu bangsa kita harus keluar dari krisis yang telah secara total melanda kehidupan ini. Ibarat orang sakit, saat krisis harus dilalui dahulu dengan menciptakan kestabilan. Pendarahan harus dihentikan dahulu. Masalah krisis itu sendiri dari segi penanganannya masih berkisar pada belum adanya kepercayaan yang mantap. Untuk seturuh kehidupan dalam masyarakat, krisis yang harus dihentikan dulu adalah kepercayaan kepada pimpinan nasional, pemerintah dan lembaga tinggi negara. Saya berpendapat bahwa krisis kepercayaan ini bersumber, bukan pada landasan hukum formalnya, konstitusional atau tidaknya, akan tetapi lebih pada legitimasinya. Presiden dan seluruh anggota kabinet, lembaga legislatif dan judikatif serta ABRI masih belum memperoleh kepercayaan tersebut secara penuh. Ini aspek diluar ekonomi yang sangat penting harus diselesaikan. Perlu saya berikan catatan di sini, pada waktu kepercayaan itu masih ada, pelaku pasar tidak terlalu menuntut, mereka menerima berbagai kekurangan yang tejadi. Akan tetapi pada waktu kepercayaan telah hilang, maka tuntutan mereka semakin banyak, menyangkut berbagai aspek diluar ekonomi-keuangan. Kita memang bisa mengatakan, tidak mau didekte pasar. Tetapi masalahnya bukan didikte atau tidak oleh pasar atau oleh IMF. Kenyataannya adalah bahwa pelaku pasar: para investor, para kreditor, atau mitra usaha akan terus menunggu sampai masalah yang berkaitan dengan aspek-aspek ini diselesaikan.
Dalam bidang ekonomi, kepercayaan pasar, baik domestik maupun asing serta kepercayaan masyarakat luas sangat tipis terhadap rupiah yang masih lemah dan tidak kunjung menguat. Hal serupa tejadi dengan perbankan dan lembaga keuangan yang lain, serta kemampuan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah pinjaman mereka. Ini memang harus ditunjukkan penanganannya yang menggambarkan bagaimana prospeknya. Jelas tidak semuanya dapat diselesaikan segera, akan tetapi program penyelesaian harus dapat dibaca dan diterima oleh pasar. Mungkin perlu disadari bahwa persepsi dan ekspektasi pelaku pasar dalam negeri dan luar negeri itu tidak selalu sama, bahkan sering berlawanan arah, karena itu menyulitkan pengelolaan yang dilakukan otorita yang bertanggung jawab dalam pengelolaan moneter.
Penanganan terhadap krisis ekonomi-keuangan ini tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Indonesia, karena itu kerjasama dan bantuan pihak lain harus terus digalang. Dalam hal ini, program yang didukung IMF semakin penting untuk dilaksanakan secara berdisiplin. Ini tidak berarti bahwa kita harus menyerah seluruhnya pada keinginan IMF, pemerintah memang harus gigih mengusahakan, mereview, melobby,dsb. Saya melihat bahwa IMF juga terus belajar, bersedia untuk lebih menyesuaikan dengan kenyataan, tetapi ini memang harus terus diperjuangkan. Perkembangan pendekatan IMF terhadap permasalahan subsidi, pinjaman swasta, penjaminan kewajiban bank, penunjukan personalia yang menangani, dsb., menunjukkan kesungguhan IMF untuk memeperhatikan berbagai implikasi yang dapat mengganggu implementasi program restrukturisasi ekonomi. Sikap tersebut dan upaya yang terkoordinir dari team perunding lebih berpotensi menghasilkan program yang realistis.
Mungkin perlu diingat bahwa keputusan meminta bantuan IMF itu datang dari pemerintah kita, dan program yang disepakati itu adalah program Indonesia yang didukung oleh IMF. Istilah program IMF, juga yang banyak dipakai media asing IMF bail out, sebenarnya tidak tepat, karena itu berbagai kritik terhadap peran IMF juga kurang tepat. Dukungan tersebut disertai penyediaan dana dan bantuan teknis. Akan tetapi sebelum memberikan dukungan tentu saja lembaga ini ingin mengetahui bagaimanakah bentuk program tersebut, apakah sesuai dengan persyaratan kelayakan yang ada ketentuannya (conditionality, istilah yang semula tabu). Yang perlu pula diingat adalah bahwa keputusan untuk meminta bantuan ke pada lembaga multilateral ini adalah untuk memperoleh dukungan dari program ekonomi yang harus dilakukan menghadapi krisis yang melanda perekonomian agar kepercayaan pasar yang menghilang dapat kembali. Karena itu yang penting tidak hanya dananya, akan tetapi dukungan tersebut, karena IMF menjadi acuan bagi hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara lain yang juga kita harapkan membantu, para investor asing, serta para kreditor asing. Jadi sebenarnya, suka atau tidak suka kita memang memerlukan kehadiran IMF dan lembaga-lembaga multilateral lain, seperti World Bank dan ADB. Mendudukkan hubungan kita dengan IMF secara benar ini perlu agar tidak ada pernilaian yang sering keliru mengenai bagaimana kita mensikapi IMF.
Akan tetapi, yang sangat mendesak selama penanganan masalah-masalah ini: lemahnya rupiah, inflasi, penyehatan perbankan, pinjaman perusahaan swasta, dsb., adalah mengenai pengadaan dan distribusi bahan pokok yang sangat sulit karena sarana dan prasarana jaringan distribusi yang sangat menyedihkan sebagai akibat tindakan penjarahan dan pembakaran yang sangat brutal. Ini akan memakan waktu untuk dapat pulih, akan tetapi terutama untuk pengadaan dan distribusi bahan pokok harus segera ditangani. Bantuan dan kerjasama dari luar harus pula digalakkan dalam hal ini. Dalam pembangunan sarana dan prasarana distribusi, masalah yang dihadapi tidak hanya pembangunan fisik, akan tetapi memulihkan kepercayaan pada para pelaku yang, terutama pada saat terjadinya kekacauan, merasa sama sekali tidak memperoleh perlindungan dari aparat keamanan. Berbagai pembahasan mengenai hal ini telah dilakukan, demikian pula pemyataa Presiden Habibie. Akan tetapi jelas ini tidak cukup, apalagi hanya meminta kesadaran mereka. Mereka memerlukan jaminan perlindungan untuk tidak dijadikan korban penjarahan, pembakaran, perkosaan dari orang-orang yang seolah-olah merasa berhak melakukan perbuatan yang sangat tidak beradab ini. Tanpa adanya jaminan ini rasanya sangat sulit mengharapkan sebagian besar dari mereka bersedia beroperasi lagi.
Membangkitkan kegiatan ekspor tidak dapat ditunggu terlalu lama, ini merupakan keharusan. Karena ini sebagian menyangkut penyelesaian masalah pinjaman perbankan, maka ini harus didahulukan dalam penanganannya. Dalam beberapa hal, seperti ekspor komoditi tradisional Indonesia, meskipun kemampuan ekspor itu tetap ada, hilangnya kepercayaan perbankan negara mitra dagang kita terhadap perbankan nasional mempersulit pelaksanaan ekspor tersebut. Keputusan Pemerintah untuk meminta BI membayar tunggakan pinjaman perbankan dalam money market line serta pinjaman perdagangan berkaitan dengan kesepakatan mengenai pinjaman swasta di Frankfurt 4 Juni yang lalu mudah-mudahan dapat menggelindingkan fasilitas yang sangat vital bagi realisasi ekspor ini. Dalam impor pangan dan obat-obatan, kalaupun hubungan perbankan dalam mendukung perdagangan ini tertolong dengan adanya garansi kredit, lemahnya rupiah tetap mempersulit realisasi impor tersebut. Pinjaman dan bantuan dari berbagai negara dalam kaitan ini harus terus diupayakan dan segera dilaksanakan.
PEMBAHARUAN SIKAP
Sesuai dengan keinginan gerakan reformasi yang pada dasarnya bermaksud untuk melakukan pembaruan bangsa, dalam aspek pembahasan saya mengenai krisis ekonomi-keuangan, bangsa Indonesia harus membaharui sikap, setelah krisis dapat kita lalui. Jadi, terlebih dahulu kita harus keluar dari krisis. Tetapi sikap apa yang harus mendasari kehidupan ekonomi nasional nanti? Sikap baru dalam melanjutkan kegiatan ekonomi dan pembangunan nasional setelah kita keluar dari krisis nanti harus dilandasi pada kesadaran semua pelaku bahwa baik sebagai individu, keluarga atau kelompok, sebagai perusahaan atau negara, atau bangsa Indonesia secara keseluruhan, harus sadar bahwa kita tidak bisa hidup lebih besar pasak dari pada tiang secara terus menerus.
Dalam kehidupan ekonomi nasional yang bersifat terbuka, memang dapat berlangsung keadaan di mana terdapat kesenjangan pengeluaran investasi dan tabungan nasional yang dibiayai dengan masuknya dana luar negeri dalam berbagai bentuknya. Demikian pula sektor keuangan, suatu bank, bisa saja mengalami kesenjangan antara hak dan kewajiban dalam likuiditas harian atau mengalami mismatch, menimbulkan saldo merah pada bank sentral yang ditutup dengan fasilitas diskonto. Akan tetapi kesenjangan tersebut tidak dapat berjalan terus menerus, karena perubahan sentimen pasar atau perkembangan baru yang mendadak mudah merubah keseimbangan tersebut menjadi suatu krisis yang sulit diselesaikan. Mismatch dalam suatu bank, yang pada dasarnya merupakan masalah likuiditas, kalau berjalan berkepanjangan atau kalau sektor perbankan dalam keadaan distress, sangat mudah berubah menjadi masalah solvabilitas, yang sebaiknya tidak diselamatkan melalui fasilitas bank sentral. Untuk keseluruhan ekonomi nasional, kesenjangan pengeluaran untuk investasi dan tabungan nasional yang bejalan terus-menerus akan membawa malapetaka nasional.
Kenyataan tersebut tidak hanya untuk sektor keuangan atau aspek pembiayaan dari kegiatan ekonomi, akan tetapi juga dalam aspek lain dari kehidupan, baik secara mikro maupun makro. Ketidak mampuan, kecurangan, kemunafikan atau kepalsuan dapat dan telah berlangsung di masyarakat kita. Meritocracy yang diabaikan di sektor pemerintah dan swasta, kecurangan dalam berbagai bentuknya di sektor pemerintah dan masyarakat, yang sering dikatakan telah membudaya, semuanya merupakan bentuk kesenjangan yang pada dasarnya merupakan tindakan atau cara hidup yang mengandung sifat lebih besar pasak dari tiang. Praktek-praktek ini, ditutup dengan kepalsuan dan kemunafikan yang merajalela, telah memperparah keadaan.
Upaya mencari jalan pintas seolah-olah diterima sebagai hal yang bisa diterima atau wajar-wajar saja. Orang ingin nampak pintar membeli gelar dari master sampai doktor, bahkan jabatan gurubesar. Orang kepingin cepat kaya melakukan korupsi, kepingin berkuasa melakukan kolusi untuk menduduki sutu posisi, dst. Semua perilaku yang menggambarkan tindakan yang lebih besar pasak dari tiang ini ditutup-tutupi dengan mengagungkan sikap kepalsuan dan kemunafikan. Akan tetapi semua ini tidak dapat berkesinambungan. Semua harus dibuang dalam kehidupan pasca krisis nanti. Ini saya sebutkan di sini, hanya untuk meneruskan argumentasi saya mengenai praktek-praktek kehidupan di luar ekonomi yang harus kita tinggalkan, karena tidak dapat dipertahankan lagi. Etos kerja baru harus dikumandangkan. Kita harus bangga dengan hasil jerih payah kita sendiri, yang halal, yang sesuai dengan kemampuan dan investasi kita.
BERBAGAI CATATAN.
- Secara umum telah saya kemukakan sebelumnya bahwa yang pertama adalah agar bangsa kita dapat keluar dari krisis yang melanda kehidupan ekonomi, sosial dan politik ini. Karena itu, di semua aspek ini fokus dari langkah yang harus diambil adalah menghentikan hemorrhage yang terus berlangsung ini. Dalam penyelesaian krisis ekonomi kita telah kehilangan banyak waktu, karena itu masalahnya bertambah besar, biaya yang harus dibayar semakin banyak. Dalam bidang ekonomi-keuangan, prioritasnya adalah menemukan jalan keluar mengenai bagaimana proses kemunduran ini dihentikan, bagaimana menimbulkan kestabilan yang harus dicapai dan dipertahankan sampai beberapa waktu untuk menimbulkan kepercayaan di dalam dan luar negeri.
- Karena pasar menuntut adanya kestabilan politik, adanya perlindungan hukum atas hak-hak asasi pelaku pasar untuk membangkitkan kembali kegiatan mereka, maka ini harus lebih dahulu diciptakan. Ini menyangkut pimpinan nasional dan pemerintahan yang mempunyai legitimasi dan kredibilitas. Ini dapat didahului dengan suatu signal yang jelas mengenai arah ke depan. Suatu catatan yang bemada optimis perlu dikemukakan di sini. Dalam keadaan ini antara substansi dan persepsi harus diselaraskan. Tetapi, dalam waktu yang singkat persepsi itu sangat penting untuk merubah pandangan yang negatif menjadi ekspektasi yang positif. Mungkin pengalaman Thailand dan Korea dapat dijadikan harapan, bahwa turning point itu bisa terjadi. Kalau sebelumnya semua gambaran nampak suram, setelah terjadi proses pembalikan terjadi perubahan, optimisme bangkit dan kepercayaan lahir kembali. Setelah itu, perkerjaan masih banyak, jalan masih panjang, akan tetapi langkah pertama ini harus dilakukan dulu. Hasil pertama ini harus diraih, berubahnya persepsi yang dalam dua negara itu terjadi dengan perubahan pemerintahan. Kalau reformasi dilakukan oleh pemerintah yang sama, atau pada dasarnya sama, maka signal itu harus meyakinkan pelaku pasar di dalam dan luar negeri, bahwa mereka benar-benar committed.
- Kalau krisis telah dilalui, maka keda keras harus dilanjutkan dengan kembali pada kegiatan pembangunan nasional. Seperti saya singgung di atas, pada waktu itu landasan kegiatan kita harus telah diperbaharui, pada dasarnya meninggalkan kebiasaan atau praktek-praktek yang tidak dapat mendukung pembangunan yang berkesinambungan (sustainable). Semua pelaku harus memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudent), dunia usaha tidak boleh lagi highly leverage, mempunyai debt to equity ratio yang tidak sehat, apalagi dengan exposure yang terlaku tinggi resikonya. Bank dan lembaga keuangan harus benar-benar prudent, mencukupi permodalan serta mempunyai CAR yang sehat, menjalankan kegiatannya secara transparan dengan mengikuti ketentuann disclosure secara disiplin dalam sistim pengawasan yang dilaksanakan secara ketat. Ini menuntut aturan yang jelas, perlindungan hukum yang mantap. Tuntutan pasar agar dikeluarkan undang-uandang tentang kebangkrutan yang jelas adalah berkaitan dengan masalah ini.
- Secara individual maupun secara keseluruhan, kegiatan dari pelaku pasar dan masyarakat luas harus menyesuaikan diri dengan kemampuan. Kesenjangan antara pengeluaran investasi nasional dan tabungan nasional tidak boleh terus menerus membengkak. Tabungan nasional Indonesia tidak buruk sama sekali (sekitar 30% dari PDB), akan tetapi dengan pengeluaran investasi yang terus-menerus jauh lebih besar (35% dari PDB atau lebih), dengan pembiayaan dari luar yang kurang berhati-hati, maka akhirnya membawa mala petaka. Tabungan masyarakat nantinya harus diupayakan meningkat lagi. Dalam hubungan ini, nampaknya pengalaman negara tetangga menunjukkan bahwa sampai tingkat tertentu maka upaya meningkatkan tabungan masyarakat perlu dibantu dengan semacam forced savings, misalnya melalui program provident funds.
- Bagi pelaku dunia usaha swasta, mungkin perlu kesadaran dalam diri masing-masing, bahwa masalah ekonomi yang kita hadapi dewasa ini, sering dikatakan, timbul bukan karena anggaran pemerintah yang kurang hati-hati, tetapi sektor swasta yang kurang mengindahkan prinsip kehati-hatian (ekspansi yang berlebihan pada proyek-proyek yang kurang produktif, cenderung menimbulkan bubbles yang mudah busting, dengan sumber pembiayaan yang beresiko tinggi dalam bentuk pinjaman jangka pendek dari luar untuk pembiayaan proyek kurang produktif yang berjangka panjang tanpa adanya perlindungan). Ini harus dirubah setelah krisis kita lalui. Prinsip kehati-hatian tidak hanya harus dipegang oleh industri perbankan dan sektor keuangan lainnya, akan tetapi juga sektor riil. Konsumen yang membeli barang dan jasa tanpa memperhatikan kemampuan bayamya, terlalu hanyut oleh hedonisme, tergiur oleh kartu kredit atau kredit konsumsi yang kurang bertanggung jawab, berarti konsumen yang tidak bertanggung jawab. Produsen yang terlalu mengandalkan pada kredit perbankan atau lembaga keuangan lain sehingga debt to equity ratio tidak sehat berarti produsen yang tidak bertanggung jawab. Investasi yang terlalu besar resikonya dengan mengandalkan sumber pembiayaan yang juga terlalu besar resikonya, dst. Ini harus ditinggalkan jauh-jauh. Dari segi kebijaksanaan, memperingatkan pelaku pada waktu keadaan sedang bagus memang tidak akan efektif, ibarat orang sedang menikmati makanan yang enak diingatkan mengenai bahayanya mengidap kolesterol yang tinggi. Berbagai moral hazard yang menghinggapi pelaku ekonomi harus dihilangkan; pinjaman macet, meskipun sebenamya mampu membayar, tidak mengapa, kan nanti akan diampuni atau orang lain juga tidak bayar.
- Catatan terakhir adalah mengenai apa yang diperangi dalam gerakan reformasi yang marak ini, yaitu praktek korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN. Ini harus benar-benar konsekuen dilaksanakan, jangan hanya menjadi slogan, sebagaimana dimasa lalu kita senang menunjukkannya. Kita telah mendengar pemyataan Presiden Habibie, kita telah pula mendengar berbagai pejabat atau wakil rakyat melakukan pengunduran diri atau menyatakan akan mengembalikan saham yang diperoleh tidak syah, dsb. Ini jelas bukan yang kita maksud dengan gerakan memerangi KKN, atau kalau semua ini baru langkah sangat awal yang harus diikuti dengan tindakan yang mendasar, bukan kepalsuan dan kemunafikan yang saya sebutkan di atas. Tindakan tambal sulam atau setengah hati, untuk mempertahankan posisi mereka tidak banyak berbeda dengan jalan KKN untuk menempati posisi tersebut sebelumnya.
- Catatan dalam hal menghilangkan praktek KKN lain adalah bahwa hal ini jangan hanya terbatas pada aparat pemerintah, karena dalam kadar dan mungkin bentuk yang berbeda, hal ini juga terjadi pada sektor swasta. Mengapa hal ini juga perlu dihilangkan, karena dampaknya serupa, praktek ini menimbulkan kurang efisiennya kegiatan ekonomi masyarakat, menyumbang pada tingginya biaya ekonomi masyarakat. Dalam kaitan dengan pemberantasan KKN pada aparat pemerintahan, sektor swasta juga harus proaktif melakukannya. Mengapa demikian? Karena seperti dalam suatu transaksi, korupsi atau kolusi itu terjadi dari adanya kerjasama dua pihak, yang menerima dan yang memberi. Kesalahan pemberi upeti dalam kasus korupsi tidak hanya karena yang bersangkutan melakukan kejasama membuat kejahatan tersebut, akan tetapi hal ini juga tidak membantu pejuangan aparat yang jujur.
Suatu kecenderungan yang menyedihkan adalah bahwa sering di masyarakat kita kalau seseorang dituduh mempraktekkan KKN, yang dilakukan bukan membuktikan bahwa dia tidak melakukannya, akan tetapi menjawab dengan mengatakan bahwa orang lain juga melakukan. Padahal, bahkan kalau ini benar, tetap saja tidak menghalalkan orang melakukan tindakan tidak terpuji tersebut. Pemberantasan itu harus dimulai oleh masing-masing individu, tidak perduli apakah orang lain juga melakukan atau tidak. Sekali lagi, tindakan itu terlaksana karena kerjasama dua atau lebih pihak, yang harus menghentikan praktek bukan hanya yang menerima tetapi juga yang memberi. Jadi ini harus dilaksanakan pada aparat pemerintah, legislatif-judikatif dan keamanan serta masyarakat, tertnasuk pelaku dalam dunia usaha, dunia akademi dan bidang atau sektor lain. Semua harus dihentikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Sumber : http://www.pacific.net.id/pakar/sj/moneter.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar