Struktur Produksi,
Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan
Tugas Minggu ke-8
3. Distribusi Pendapatan Nasional & Kemiskinan
3.1 Distribusi
Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia
Distribusi Pendapatan :
Pada umumnya ada 3 macam indikator distribusi pendapatan yang sering digunakan dalam penelitian. Pertama, indikator distribusi pendapatan perorangan. Kedua, kurva Lorenz. Ketiga, koefisien gini. Masing-masing indikator tersebut mempunyai relasi satu sama lainnya. Semakin jauh kurva Lorenz dari garis diagonal maka semakin besar ketimpangan distribusi pendapatannya. Begitu juga sebaliknya, semakin berimpit kurva Lorenz dengan garis diagonal, semakin merata distribusi pendapatan. Sedangkan untuk koefisien gini, semakin kecil nilainya, menunjukkan distribusi yang lebih merata. Demikian juga sebaliknya. Kuznets (1995) dalam penelitiannya di negara-negara maju berpendapat bahwa pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik. Penelitian inilah yang kemudian dikenal secara luas sebagai konsep kurva Kuznets U terbalik. Sementara itu menurut Oshima (1992) bahwa negara-negara Asia nampaknya mengikuti kurva Kuznets dalam kesejahteraan pendapatan. Ardani (1992) mengemukakan bahwa kesenjangan/ketimpangan antar daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri.
Kemiskinan
:
Masalah
kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya
masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam
bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada
masakini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan
kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak
hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga
negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris
mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi
industri yang muncul di Eropah. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal
dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan
upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya
tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya,
seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Indonesia
sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa
penduduk yang tergolong miskin (Survai Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998).
Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan
31,9 juta jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya
dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah
penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan dan 15,3 juta jiwa
perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi,
yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara
lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah
dan bencana alam. Kemiskinan “buatan” terjadi karena lembaga-lembaga yang ada
di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana
ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin.
Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan
yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik
untuk disimak dari berbagai aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik.
Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan
informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi,
upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang.
Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan
rasa terisolir. Sedangkan, dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses
terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam
proses pengambil keputusan.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian:
kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang
termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah
garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan,
sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif
sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah
kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan
sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki
tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya.
Lebih lanjut, garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata
kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Melalui
pendekatan sosial masih sulit mengukur garis kemiskinan masyarakat, tetapi dari
indikator ekonomi secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan tiga
pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Sementara
ini yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk menarik garis kemiskinan
adalah pendekatan pengeluaran.
Menurut data BPS hasil Susenas pada akhir tahun 1998,
garis kemiskinan penduduk perkotaan ditetapkan sebesar Rp. 96.959 per kapita
per bulan dan penduduk miskin perdesaan sebesar Rp. 72.780 per kapita per
bulan. Dengan perhitungan uang tersebut dapat dibelanjakan untuk memenuhi
konsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari, ditambah dengan
pemenuhan kebutuhan pokok minimum lainnya, seperti sandang, kesehatan,
pendidikan, transportasi. Angka garis kemiskinan ini jauh sangat tinggi bila
dibanding dengan angka tahun 1996 sebelum krisis ekonomi yang hanya sekitar Rp.
38.246 per kapita per bulan untuk penduduk perkotaan dan Rp. 27.413 bagi
penduduk perdesaan.
Banyak pendapat di kalangan pakar ekonomi mengenai
definisi dan klasifikasi kemiskinan ini. Dalam bukunya The Affluent Society,
John Kenneth Galbraith melihat kemiskinan di Amerika Serikat terdiri dari tiga
macam, yakni kemiskinan umum, kemiskinan kepulauan, dan kemiskinan kasus. Pakar
ekonomi lainnya melihat secara global, yakni kemiskinan massal/kolektif,
kemiskinan musiman (cyclical), dan kemiskinan individu.
Kemiskinan kolektif dapat terjadi pada suatu daerah atau negara yang mengalami
kekurangan pangan. Kebodohan dan eksploitasi manusia dinilai sebagai penyebab
keadaan itu. Kemiskinan musiman atau periodik dapat terjadi manakala daya beli
masyarakat menurun atau rendah. Misalnya sebagaimana, sekarang terjadi di Indonesia.
Sedangkan, kemiskinan individu dapat terjadi pada setiap orang, terutama kaum
cacat fisik atau mental, anak-anak yatim, kelompok lanjut usia.
Penanggulangan Kemiskinan
Bagaimana menangani kemiskinan memang menarik untuk
disimak. Teori ekonomi mengatakan bahwa untak memutus mata rantai lingkaran
kemiskinan dapat dilakukan peningkatan keterampilan sumber daya manusianya,
penambahan modal investasi, dan mengembangkan teknologi. Melalui berbagai
suntikan maka diharapkan produktifitas akan meningkat. Namun, dalam praktek
persoalannya tidak semudah itu. Lantas apa yang dapat dilakukan?
Program-program kemiskinan sudah banyak dilaksanakan di
berbagai negara. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat program
penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antar
negara bagian, memperbaiki kondisi permukiman perkotaan dan perdesaan,
perluasan kesempatan pendidikan dan kerja untuk para pemuda, penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan bagi orang dewasa, dan pemberian bantuan kepada kaum miskin
usia lanjut. Selain program pemerintah, juga kalangan masyarakat ikut terlibat
membantu kaum miskin melalui organisasi kemasyarakatan, gereja, dan lain
sebagainya.
Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan
sudah banyak pula dilaksanakan, seperti : pengembangan desa tertinggal,
perbaikan kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan. Sekarang pemerintah
menangani program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan
ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, melalui
program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS ini masyarakat sasaran
ikut terlibat dalam berbagai kegiatan.
Sedangkan, P2KP sendiri sebagai program penanggulangan
kemiskinan di perkotaan lebih mengutamakan pada peningkatan pendapatan masyarakat
dengan mendudukan masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui partisipasi aktif.
Melalui partisipasi aktif ini dari masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran
tidak hanya berkedudukan menjadi obyek program, tetapi ikut serta menentukan
program yang paling cocok bagi mereka. Mereka memutuskan, menjalankan, dan
mengevaluasi hasil dari pelaksanaan program. Nasib dari program, apakah akan
terus berlanjut atau berhenti, akan tergantung pada tekad dan komitmen
masyarakat sendiri.
-
Pengertian
Kemiskinan dari Beberapa Ahli
A. SPECKER (1993) mengatakan bahwa kemiskinan mencakup beberapa hal yaitu :
1. kekurangan fasilitas fisik bagi kehidupan yang normal
2. gangguan dan tingginya risiko kesehatan,
3. risiko keamanan dan kerawanan kehidupan sosial ekonomi dan lingkungannya,
4. kekurangan pendapatan yang mengakibatkan tidak bisa hidup layak, dan
5. kekurangan dalam kehidupan sosial yang dapat ditunjukkan oleh ketersisihan sosial, ketersisihan dalam proses politik, dan kualitas pendidik yang rendah.
B. Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial telah mendefinisikan kemiskinan sebagai berikut:
1. Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi
2. Rendahnya tingkat kesehatan
3. Keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya, kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat 4. Kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial.
C. Maxwell (2007) menggunakan istilah kemiskinan untuk menggambarkan keterbatasan pendapatan dan konsumsi, keterbelakangan derajat dan martabat manusia, ketersingkiran sosial, keadaan yang menderita karena sakit, kurangnya kemampuan dan ketidakberfungsian fisik untuk bekerja, kerentanan (dalam menghadapi perubahan politik dan ekonomi), tiadanya keberlanjutan sumber kehidupan, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar, dan adanya perampasan relatif (relative deprivation).
D. Poli (1993) menggambarkan kemiskinan sebagai keadaan; ketidakterjaminan pendapatan, kurangnya kualitas kebutuhan dasar, rendahnya kualitas perumahan dan aset-aset produktif; ketidakmampuan memelihara kesehatan yang baik, ketergantungan dan ketiadaan bantuan, adanya perilaku antisosial (anti-social behavior), kurangnya dukungan jaringan untuk mendapatkan kehidupan yang baik, kurangnya infrastruktur dan keterpencilan, serta ketidakmampuan dan keterpisahan. E. Bappenas dalam dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan juga mendefinisikan masalah kemiskinan bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga masalah kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin. Masalah kemiskinan juga menyangkut tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan bermartabat. Pemecahan masalah kemiskinan perlu didasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin, dan adanya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka, yaitu hak sosial, budaya, ekonomi dan politik. Oleh karena itu, strategi dan kebijakan yang dirumuskan dalam strategi nasional pengentasan kemiskinan didasarkan atas pendekatan berbasis hak (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2005).
F. Menurut Sallatang (1986) bahwa kemiskinan adalah ketidakcukupan penerimaan pendapatan dan pemilikan kekayaan materi, tanpa mengabaikan standar atau ukuran-ukuran fisiologi, psikologi dan sosial.
G. Esmara (1986) mengartikan kemiskinan ekonomi sebagai keterbatasan sumber-sumber ekonomi untuk mempertahankan kehidupan yang layak. Fenomena kemiskinan umumnya dikaitkan dengan kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.
H. Menurut Basri (1995) bahwa kemiskinan pada dasarnya mengacu pada keadaan serba kekurangan dalam pemenuhan sejumlah kebutuhan, seperti sandang, pangan, papan, pekerjaan, pendidikan, pengetahuan, dan lain sebagainya. Sementara itu, menurut Badan Pusat Statistik (2000), kemiskinan didefinisikan sebagai pola konsumsi yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah perkotaan.
Penanggulangan Kemiskinan
Teori ekonomi mengatakan bahwa untuk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan peningkatan keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal investasi, dan mengembangkan teknologi. Melalui berbagai suntikan maka diharapkan produktifitas akan meningkat. Namun, dalam praktek persoalannya tidak semudah itu. Lantas apa yang dapat dilakukan?
Program-program kemiskinan sudah banyak dilaksanakan di berbagai negara. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antar negara bagian, memperbaiki kondisi permukiman perkotaan dan perdesaan, perluasan kesempatan pendidikan dan kerja untuk para pemuda, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi orang dewasa, dan pemberian bantuan kepada kaum miskin usia lanjut. Selain program pemerintah, juga kalangan masyarakat ikut terlibat membantu kaum miskin melalui organisasi kemasyarakatan, gereja, dan lain sebagainya.
Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan sudah banyak pula dilaksanakan, seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan. Sekarang pemerintah menangani program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, melalui program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS ini masyarakat sasaran ikut terlibat dalam berbagai kegiatan.
Sedangkan, P2KP sendiri sebagai program penanggulangan kemiskinan di perkotaan lebih mengutamakan pada peningkatan pendapatan masyarakat dengan mendudukan masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui partisipasi aktif. Melalui partisipasi aktif ini dari masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran tidak hanya berkedudukan menjadi obyek program, tetapi ikut serta menentukan program yang paling cocok bagi mereka. Mereka memutuskan, menjalankan, dan mengevaluasi hasil dari pelaksanaan program. Nasib dari program, apakah akan terus berlanjut atau berhenti, akan tergantung pada tekad dan komitmen masyarakat sendiri.
http://bimbilifiajuniarti.blogspot.com/2012/03/kemiskinan.html