Pembiayaan Defisit Anggaran
Tulisan
minggu ke -6
1.1. Dasar
Hukum Pembiayaan Defisit Anggaran
Dasar hukum
dalam pembiayaan defisit anggaran adalah :
Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2009 (dan Undang-Undang APBN yang diterbitkan setiap tahun)
Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit
APBN dan Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Daerah
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.02/2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan dan Mekanisme
Pemantauan Defisit APBD
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 138/PMK.07/2009 Tentang Batas maksimal Kumulatif Deficit
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Masing-masing Daerah, dan Batas Maksimal
Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2010
1.2. Konsepsi Pembiayaan
Defisit Anggaran
-
Pembiayaan defisit anggaran, adalah
semua jenis pembiayaan yang digunakan untuk menutup defisit anggaran negara
dalam APBN
-
Pembiayaan dalam negeri, adalah semua pembiayaan yang berasal dari perbankan
dan nonperbankan dalam negeri yang meliputi hasil privatisasi, penjualan aset
perbankan dalam rangka program restrukturisasi, surat utang negara, dan
dukungan infrastruktur.
-
Surat utang negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang
dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan
pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara.
-
Dukungan infrastruktur adalah dukungan Pemerintah dalam bentuk kompensasi
finansial dan/atau kompensasi dalam bentuk lain yang diberikan oleh Pemerintah
kepada Badan Usaha melalui skema pembagian risiko dalam pelaksanaan proyek
kerjasama penyediaan infrastruktur.
-
Pembiayaan luar negeri bersih adalah semua pembiayaan yang berasal dari
penarikan utang/pinjaman luar negeri yang terdiri dari pinjaman program dan
pinjaman proyek, dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok utang/pinjaman luar
negeri.
a. Pinjaman
Luar Negeri
1. Pinjaman program adalah nilai lawan rupiah
dari pinjaman luar negeri dalam bentuk valuta asing yang dapat dirupiahkan.
2. Pinjaman proyek adalah pinjaman luar negeri
yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan tertentu
-
Pemerintah Pusat, yang selanjutnya
disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-
Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati,
atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah.
-
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
selanjutnya disebut APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara
yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
-
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
selanjutnya disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah
yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
-
Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah
daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
-
Belanja Daerah adalah semua kewajiban
daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
-
Defisit APBD adalah selisih kurang
antara pendapatan daerah dan belanja daerah dalam tahun anggaran yang sama.
-
Pinjaman Pemerintah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Pemerintah Pusat
menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain
sehingga Pemerintah Pusat dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
1.3. Sebab-sebab
Terjadinya Defisit Anggaran
Mempercepat
Pertumbuhan Ekonomi
Untuk
mempercepat pembangunan diperlukan investasi yang besar dan dana yang besar
pula. Apabila dana dalam negeri tidak mencukupi, biasanya negara melakukan
pilihan dengan meminjam ke luar negeri untuk menghindari pembebanan warga
negara apabila kekurangan itu ditutup melalui penarikan pajak. Negara memang
dibebani tanggung jawab yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan warga
negaranya. Beban ini meliputi pembangunan program-program, seperti:
a)
Program yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, seperti jalan, jembatan,
listrik, pelabuhan, dll.
b)
Program yang berkaitan dengan Hankam.
c)
Pembangunan yang meliputi bidang hukum, seperti proyek-proyek pengadilan,
lembaga pemasyarakatan, dll.
d)
Program bidang sosial, pendidikan dan kesehatan, seperti sekolah, rumah sakit,
panti asuhan.
e)
Program yang berkaitan dengan pemerataan pendapatan, seperti program
transmigrasi, pembangunan daerah, dll.
f)
Program yang menangani masalah kemiskinan, seperti PPK, P3DT, dsb.
Semuanya
itu diperlukan biaya yang besar, dan diantaranya harus dilaksanakan oleh
negara, terutama program nomor b, c, e, dan f, karena swasta/masyarakat tidak
mungkin membangun program-program seperti itu.
Rendahnya
Daya Beli Beli Masyarakat
Masyarakat
di negara berkembang seperti Indonesia yang mempunyai pendapatan per kapita
rendah, dikenal mempunyai daya beli yang rendah pula. Sedangkan barang-barang
dan jasa-jasa yang dibutuhkan, harganya sangat tinggi karena sebagian
produksinya mempunyai komponen impor, sehingga masyarakat yang berpendapatan
rendah tidak mampu membeli barang dan jasa tersebut. Barang dan jasa tersebut
misalnya listrik, sarana transportasi, BBM, dan lain sebagainya. Apabila
dibiarkan saja menurut mekanisme pasar, barang-barang itu pasti tidak mungkin terjangkau
oleh masyarakat dan mereka akan tetap terpuruk. Oleh karena itu, negara
memerlukan pengeluaran untuk mensubsidi barang-barang tersebut agar masyarakat
miskin bisa ikut menikmati.
Pemerataan
Pendapatan Masyarakat
Pengeluaran
ekstra juga diperlukan dalam rangka menunjang pemerataan di seluruh wilayah.
Indonesia yang mempunyai wilayah sangat luas dengan tingkat kemajuan yang
berbeda-beda di masing-masing wilayah. Untuk mempertahankan kestabilan politik,
persatuan dan kesatuan bangsa, negara harus mengeluarkan biaya untuk misalnya,
pengeluaran subsidi transportasi ke wilayah yang miskin dan terpencil, agar
masyarakat di wilayah itu dapat menikmati hasil pembangunan yang tidak jauh
berbeda dengan wilayah yang lebih maju. Kegiatan itu misalnya dengan memberi
subsidi kepada pelayaran kapal Perintis yang menghubungkan pulau-pulau yang
terpencil, sehingga masyarakat mampu menjangkau wilayah-wilayah lain dengan
biaya yang sesuai dengan kemampuannya.
Melemahnya
Nilai Tukar
Indonesia
yang sejak tahun 1969 melakukan pinjaman luar negeri, mengalami masalah apabila
ada gejolak nilai tukar setiap tahunnya. Masalah ini disebabkan karena nilai
pinjaman dihitung dengan valuta asing, sedangkan pembayaran cicilan pokok dan
bunga pinjaman dihitung dengan rupiah. Apabila nilai tukar rupiah menurun
terhadap mata uang dollar AS, maka yang akan dibayarkan juga membengkak.
Sebagai contoh APBN tahun 2000, disusun dengan asumsi kurs rupiah terhadap
dollar AS sebesar Rp. 7.100,-, dalam perjalanan tahun anggaran telah mencapai
angka Rp. 11.000,- lebih per US$ 1.00. Apa artinya ? Bahwa pembayaran cicilan
pokok dan bunga pinjaman yang diambil dari APBN bertambah, lebih dari apa yang
dianggarkan semula.
Pengeluaran
Akibat Krisis Global
Krisis
global yang terjadi akhir-akhir ini menyebabkan meningkatnya jumlah
pengangguran di Indonesia. Sedangkan penerimaan pajak menurun, akibat
menurunnya sektor-sektor ekonomi sebagai dampak krisis itu, padahal negara
harus bertanggung jawab untuk menaikkan daya beli masyarakat yang tergolong
miskin. Dalam hal ini negara terpaksa mengeluarkan dana ekstra untuk
program-program kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat terutama di wilayah
pedesaan yang miskin itu.
Realisasi
yang Menyimpang dari Rencana
Apabila
realisasi penerimaan negara meleset dibanding dengan yang telah direncanakan,
atau dengan kata lain rencana penerimaan negara tidak dapat mencapai sasaran
seperti apa yang direncanakan, maka berarti beberapa kegiatan, proyek, atau
program harus dipotong. Pemotongan proyek itu tidak begitu mudah, karena
bagaimanapun juga untuk mencapai kinerja pembangunan, suatu proyek tidak bisa
berdiri sendiri, tetapi ada kaitannya dengan proyek lain. Kalau hal ini
terjadi, negara harus menutup kekurangan, agar kinerja pembangunan dapat
tercapai sesuai dengan rencana semula.
Pengeluaran
Karena Inflasi
Penyusunan
anggaran negara pada awal tahun, didasarkan menurut standar harga yang telah
ditetapkan. Harga standar itu sendiri dalam perjalanan tahun anggaran, tidak
dapat dijamin ketepatannya. Dengan kata lain, selama perjalanan tahun anggaran
standar harga itu dapat meningkat tetapi jarang yang menurun. Apabila terjadi
inflasi, dengan adanya kenaikan harga-harga itu berarti biaya pembangunan
program juga akan meningkat, sedangkan anggarannya tetap sama. Semuanya ini
akan berakibat pada menurunnya kuantitas dan kualitas program, sehingga
anggaran negara perlu direvisi. Anggaran negara yang telah tercantum terlalu
rinci dalam dokumen anggaran (DIP, DIPP), pemimpin proyek sulit untuk bisa menyesuaikan
apabila terjadi kenaikan harga barang yang melampaui harga standar. Untuk
melaksanakan pembangunan proyek yang melampaui standar yang telah ditentukan,
pemimpin proyek akan dipersalahkan oleh Badan Pengawas Keuangan, sebaliknya
juga apabila pemimpin proyek terpaksa mengurangi volumenya. Akibatnya, negara
terpaksa akan mengeluarkan dana untuk eskalasi dalam rangka menambah standar
harga itu.
1.4. Dampak
Defisit Ekonomi terhadap Ekonomi Makro
Mengapa
kita membicarakan defisit? Dan mengapa defisit anggaran negara merupakan momok
yang sangat ditakuti? Defisit anggaran itu ibaratnya seperti penyakit
hipertensi yang dampaknya bisa mempengaruhi kerja jantung, ginjal, mata, otak,
yang berakibat kelumpuhan. Demikian pula defisit anggaran juga berdampak pada
beberapa variabel ekonomi makro, antara lain :
Dampak
Terhadap Tingkat Bunga
Defisit
anggaran ditandai dengan kurangnya pembiayaan pengeluaran negara karena
kurangnya penerimaannya yang berasal dari pajak. Untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam meningkatkan anggaran pembangunan maupun rutin, Negara
memerlukan penambahan modal, yang berarti permintaan terhadap uang meningkat.
Bunga, yang merupakan harga modal itu, akan mengalami tingkat keseimbangan yang
lebih tinggi, atau tingkat bunga akan meningkat.
Dampak
Terhadap Neraca Pembayaran
Dalam
ekonomi terbuka, defisit anggaran dapat mempengaruhi posisi ekspor dan impor
dari dan ke manca negara. Dengan meningkatnya tingkat bunga, investasi dalam
negeri akan menurun, yang berarti peluang modal asing cenderung masuk mengalir
ke dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan investasi dalam negeri. Apabila ini
terjadi, maka deficit anggaran mempunyai dua dampak yang berkaitan, yaitu :
pertama, defisit anggaran akan meningkatkan defisit neraca pembayaran; kedua,
dengan membengkaknya defisit neraca pembayaran, akan menurunkan nilai tukar
dalam negeri terhadap mata uang asing. Sehingga menurunnya nilai rupiah
terhadap valuta asing selama ini bukan saja disebabkan karena faktor
psikologis, tetapi juga faktor teknis.
Dampak
Terhadap Tingkat Inflasi
Pengeluaran
negara yang melebihi penerimaannya berarti anggaran negara itu ekspansif,
artinya ada kecenderungan terhadap kenaikan harga-harga umum (inflasi).
Mengapa, karena pengeluaran negara yang digunakan untuk pembangunan
proyek-proyek dengan biaya besar dan berjangka lama, selama dalam pembangunan
belum dapat menghasilkan dalam waktu yang cepat, tetapi sebaliknya, negara
telah melakukan pengeluaranpengeluaran, antara lain untuk upah buruh yang
berakibat meningkatnya daya beli masyarakat. Dengan meningkatnya daya beli
masyarakat di satu pihak, dan belum ada output yang dihasilkan di lain pihak,
akan mendorong harga-harga umum akan meningkat, yang dampaknya adalah pada
inflasi. Dalam masa pembangunan yang menggebu-gebu sulit bisa dihindarkan
keadaan inflasi ini.
Dampak
Terhadap Konsumsi dan Tabungan
Inflasi
yang diakibatkan karena defisit anggaran negara itu akan mengurangi pendapatan
riil masyarakat. Pengurangan pada pendapatan riil masyarakat itu akan berakibat
pada pengurangan baik konsumsi maupun tabungan. Tabungan sangat penting sekali
untuk mendorong investasi. Apabila pendapatan riil ini menurun, berarti tingkat
konsumsi dan tabungan riil juga menurun, padahal tingkat tabungan riil itu akan
berpengaruh terhadap tingkat investasi. Dengan menurunnya tingkat tabungan
tersebut, tingkat investasi juga menurun.
Dampak
Terhadap Penggangguran
Pengganguran
berarti penurunan tingkat kesempatan kerja. Kesempatan kerja tergantung pada
besarnya investasi yang dilakukan baik oleh negara maupun masyarakat. Naiknya
tingkat bunga akibat dari anggaran negara yang defisit itu, akan berdampak
menurunnya gairah untuk investasi, yang berarti banyak proyek-proyek maupun
perluasan proyek yang sudah ada tidak dapat dibangun, sehingga berakibat pada
pemecatan tenaga kerja atau kurangnya tenaga kerja baru yang masuk dalam
lapangan kerja. Dengan demikian defisit anggaran ini juga secara langsung
berakibat pada kenaikan peningkatan tingkat penggangguran.
Dampak
Terhadap Tingkat pertumbuhan
Pertumbuhan
yang meningkat adalah akibat dari meningkatnya investasi, baik dari Negara
maupun masyarakat. Peningkatan investasi itu bisa terjadi, kecuali disebabkan
oleh situasi keamanan yang kondusif, juga tingkat bunga yang rendah. Tetapi
apabila perubahan variabel-variabel tersebut berlawanan dengan yang disebutkan
diatas, terutama tingkat bunga yang tinggi akibat defisit anggaran, maka
tingkat pertumbuhan yang tinggi tidak akan tercapai atau dapat dikatakan
defisit anggaran itu juga mengakibatkan pada penurunan tingkat pertumbuhan.
1.5. Kebijakan
Pemerintah menutup defisit anggaran
Dalam
rangka menutup defisit anggaran tersebut, akan dilakukan langkah-langkah
kebijakan guna memperoleh sumber pembiayaan dengan biaya rendah dan tingkat
risiko yang dapat ditolerir. Langkah-langkah
2.5.1. Kebijakan
dalam pembiayaan dalam negeri
kebijakan
di sisi pembiayaan dalam negeri tersebut akan ditempuh antara lain dengan:
l
melakukan pengelolaan portofolio surat utang negara (SUN) melalui
langkah-langkah pembayaran bunga dan pokok obligasi negara secara tepat waktu,
penerbitan SUN dalam mata uang rupiah dan mata uang asing, penukaran utang (debt
switching) serta pembelian kembali(buyback) obligasi
negara;
l
melanjutkan kebijakan privatisasi yang pelaksanaannya dilakukan berdasarkan
ketentuan yang berlaku di pasarmodal;
l
memanfaatkan dana eks moratorium untuk membiayai program rekonstruksi dan
rehabilitasi NAD-Nias;
l
menggunakan sebagian dana simpanan pemerintah; dan
l
memberikan dukungan dana bagi percepatan pembangunan infrastruktur dalam rangka
kemitraanPemerintah-Swasta.
2.5.2.
Kebijakan dalam pembiayaan luar negeri
Langkah-langkah
yang ditempuh antara lain meliputi:
l
Mengamankan pinjaman luar negeri yang telah disepakati dan rencana penyerapan
pinjaman luar negeri, baik pinjaman program maupun pinjaman proyek, dan
l
Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang sudah jatuh tempo.
l
Dalam rangka membiayai pembiayaan defisit anggaran, Pemerintah akan
mengedepankan prinsip kemandirian, dengan lebih memprioritaskan pendanaan yang
bersumber dari dalam negeri. Pendanaan dari luar negeri akan dilakukan lebih
selektif dan berhati-hati, dengan mengupayakan beban pinjaman yang paling
ringan melalui penarikan pinjaman dengan tingkat bunga yang rendah dan tenggang
waktu yang panjang, dan tidak mengakibatkan adanya adanya ikatan politik, serta
diprioritaskan untuk membiayai kegiatankegiatan yang produktif.
2.5.3.
Kebijakan dari Sisi Pengeluaran:
Mengurangi
subsidi
Yaitu
bantuan yang diambil dari anggaran negara untuk pengeluaran yang sifatnya
membantu konsumen untuk mengatasi tingginya harga yang tidak terjangkau oleh
mereka agar tercipta kestabilan politik dan sosial lainnya, misalnya subsidi
pupuk, subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi listrik, dan lain sebagainya.
Pada prinsipnya negara memberikan subsidi terhadap suatu barang, karena barang
itu dianggap harganya terlalu tinggi dibanding dengan kemampuan daya beli
masyarakat. Agar tidak terjadi gejolak di masyarakat, maka negara mengeluarkan
dana untuk mensubsidi barang tersebut. Subsidi itu dilakukan dengan beberapa
cara, misalnya : i). memberikan subsidi kepada konsumen dengan cara memberikan
subsidi harga barang-barang yang dikonsumsi; ii). memberikan subsidi kepada
produsen, yaitu memberikan subsidi pada bahan baku yang dipergunakan untuk
memproduksi barang tersebut. Kalau pengeluaran subsidi itu dikurangi akan
berakibat pada kenaikan harga barang yang diberi subsidi itu.
Penghematan
pada setiap pengeluaran baik pengeluaran rutin maupun pembangunan
Penghematan
pada pengeluaran rutin dilakukan oleh departemen teknis, misalnya untuk
pengeluaran listrik, telepon, alat tulis, perjalanan dinas, rapat-rapat,
seminar, dan sebagainya tanpa mengurangi kinerja dari departemen teknis yang
bersangkutan.
Menseleksi
sebagian pengeluaran-pengeluaran pembangunan
Pengeluaran
pembangunan yang berupa proyek-proyek pembangunan diseleksi menurut
prioritasnya, misalnya proyek-proyek yang cepat menghasilkan. Proyek-proyek
yang menyerap biaya besar dan penyelesaiannya dalam jangka waktu yang lama,
sementara ditunda pelaksanaannya.
Mengurangi
pengeluaran program-program yang tidak produktif dan tidak efisien
Program-program
semacam itu adalah program-program yang tidak mendukung pertumbuhan sektor
riil, tidak mendukung kenaikan penerimaan pajak, dan tidak mendukung kenaikan
penerimaan devisa. Pemotongan program-program ini harus dilakukan dengan
hati-hati. Pemotongan pengeluaran tanpa memperbaiki produktivitas program,
berarti akan ada kecenderungan akan menurunnya kualitas dan kuantitas output.
1.6. Ketentuan
Batas Kumulatif Defisit APBN dan Pinjaman
Dalam
hal defisit anggaran ini ada pedoman atas batas kumulatif defisit
anggaran yaitu :
Jumlah
kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3% (tiga persen) dari
PDB tahun bersangkutan.
Jumlah
kumulatif pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dibatasi tidak
melebihi 60% (enam pu-luh persen) dari PDB tahun bersangkutan.
Jumlah
kumulatif pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah total pinjaman
Pemerintah Pusat setelah dikurangi pinjaman yang diberikan kepada Pemerintah
Daerah ditambah total pinjaman seluruh Pemerintah Daerah setelah dikurangi
pinjaman yang diberikan kepada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
lain.
Batas
maksimal pinjaman seluruh Pemerintah Daerah untuk tahun anggaran berikutnya
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setiap tahun paling lambat dalam
bulan Agustus dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan
perekonomian nasional.
Dalam
hal jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD tidak melebihi 3% (tiga persen) dari
PDB dan/atau jumlah kumulatif pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari PDB:
Pemerintah
Pusat dapat melakukan pinjaman baik dalam negeri maupun luar negeri.
Pemerintah
Daerah dapat melakukan pinjaman baik dari Pemerintah Pusat maupun dari sumber
lainnya.
Pinjaman
Daerah yang bersumber dari luar negeri, dilakukan melalui mekanisme penerusan
pinjaman.
Pelaksanaan
pinjaman Pemerintah Daerah dari Pemerintah Pusat maupun dari sumber lainnya
sebagaimana dimaksud diatas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Jumlah
kumulatif pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
Net
Pinjaman Pemerintah Pusat
|
Total
Pinjaman Pemerintah Pusat dikurangi Piutang kepada Pemerintah Daerah
|
Net
Pinjaman Pemerintah Daerah
|
Total
Pinjaman Pemerintah Daerah dikurangi Piutang kepada Pemerintah Pusat dan/atau
Piutang kepada Pemerintah Daerah lainnya.
|
Jumlah
kumulatif pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
|
Net
Pinjaman Pemerintah Pusat ditambah Net Pinjaman Pemerintah Daerah
|
Daerah
dapat melebihi Batas Maksimal Defisit APBD setelah mengajukan permohonan dan
mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan dengan pertimbangan dari Menteri
Dalam Negeri. Persetujuan Menteri Keuangan didasarkan pada ketentuan sebagai
berikut:
Batas
Maksimal Kumulatif Defisit APBD tidak terlampaui; dan
Terpenuhinya
persyaratan peruntukan pinjaman, jumlah kewajiban pinjaman dan kemampuan
keuangan daerah.
Tata
cara pengajuan permohonan persetujuan melebihi Batas Maksimal Defisit APBD
dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
Pemerintah
Daerah mengajukan permohonan persetujuan melebihi Batas Maksimal Defisit APBD
kepada Menteri Keuangan, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan kepada
Menteri Dalam Negeri, Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah
dengan disertai kelengkapan data yang memuat alasan melebihi Batas Maksimal
Defisit APBD.
Permohonan
persetujuan melebihi Batas Maksimal Defisit APBD diajukan setelah adanya
persetujuan bersama antara Kepala Daerah dan DPRD atas Rancangan Peraturan Daerah
tentang APBD.
Persetujuan
melebihi Batas Maksimal Defisit APBD merupakan dokumen yang tidak terpisahkan
dalam pelaksanaan Pinjaman Daerah bagi daerah yang melampaui Batas Maksimal
Defisit APBD.
Menteri
Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah
memberikan pertimbangan kepada Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari
kerja setelah diterimanya surat permohonan dari daerah.
Menteri
Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan memberikan persetujuan/
penolakan atas permohonan dari daerah paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah
diterimanya surat pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri.
Apabila
Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah
tidak memberikan pertimbangan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan memberikan persetujuan/ penolakan paling lama 14 (empat belas) hari
kerja setelah diterimanya surat permohonan dari daerah.
Persetujuan/penolakan
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas pelampauan
Batas Maksimal Defisit APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tidak menjadi
dokumen yang dipersyaratkan dalam proses evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang
APBD.
1.7. Kriteria
pembiayaan Defisit APBD
APBD
suatu daerah dapat defisit dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat.
Dalam
hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk
menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
Sumber
pembiayaan untuk menutup defisit APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
terdiri dari:
a.
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA);
b.
Dana Cadangan;
c.
Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;
d.
Penerimaan kembali pemberian pinjaman; dan
e.
Pinjaman Daerah.
Batas
maksimal defisit APBD sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.02/2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan dan Mekanisme
Pemantauan Defisit APBD tidak termasuk:
a.
Defisit yang dibiayai dari SiLPA;
b.
Defisit yang dibiayai dengan pencairan Dana Cadangan
1.8. Pemantauan
Defisit Anggaran
Pemerintah
Daerah wajib melaporkan posisi defisit APBD kepada Menteri Keuangan dan Menteri
Dalam Negeri paling lambat 1 (satu) bulan setelah APBD ditetapkan.
Pemerintah
Daerah yang melakukan perubahan APBD, wajib melaporkan posisi defisit APBD
paling lambat 1 (satu) bulan setelah APBD Perubahan ditetapkan.
Pemerintah
Daerah wajib melaporkan posisi kumulatif pinjaman daerah dan kewajiban pinjaman
daerah kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri setiap semester dalam
tahun anggaran berjalan, paling lambat satu bulan setelah berakhirnya periode
semester yang bersangkutan.
Format
laporan posisi kumulatif pinjaman daerah dan kewajiban pinjaman daerah
sebagaimana dimaksud pada poin sebelumnya tercantum dalam lampiran Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.02/2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan dan Mekanisme
Pemantauan Defisit APBD.
Menteri
Keuangan memantau perkembangan posisi defisit APBD dan pinjaman daerah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Pemantauan
perkembangan posisi defisit APBD dan pinjaman daerah sebagaimana dimaksud dalam
poin sebelumnya meliputi:
a.
analisis, penelaahan dan evaluasi terhadap laporan posisi defisit APBD dan
pinjaman daerah;
b.
penyajian, pelaporan dan publikasi informasi posisi defisit APBD dan pinjaman
daerah; dan
c.
lain-lain tugas yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Dengan
memperhatikan keadaan dan perkiraan perkembangan perekonomian nasional, Menteri
Keuangan setiap bulan Agustus menetapkan batas maksimal pinjaman Pemerintah
Daerah secara keseluruhan untuk tahun anggaran berikutnya.
Sanksi
Menteri
Keuangan dapat mengenakan sanksi berupa penundaan penyaluran Dana Perimbangan
dalam hal Pemerintah Daerah melanggar batas maksimal defisit APBD masing-masing
daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 45/PMK.02/2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan dan Mekanisme Pemantauan
Defisit APBD
Pengenaan
sanksi
a. Ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah
berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.
b. Dilaksanakan secara efektif pada penyaluran
Dana Perimbangan bulan berikutnya setelah tanggal penetapan sanksi.
c. Mengikuti mekanisme penyaluran Dana
Perimbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sumber
: